Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

STUDI GENDER



KEDUDUKAN HAK WARIS PEREMPUAN DAN JANDA PADA
MASYARAKAT BATAK TOBA
 
11. Realita Perempuan dalam Hukum Waris Adat Batak Toba
Dalam hal pewarisan hukum adat patrilineal masih terdapat bias gender yang mencolok, yaitu dimana pihak yang berhak sebagai penerima warisan atau ahli waris adalah kaum laki-laki saja dan kaum perempuan tidak berhak untuk mendapat warisan. Masyarakat patrilineal khususnya dalam masyarakat Batak Toba menganggap bahwa anak laki-laki lebih berharga atau lebih tinggi kedudukannya dari pada anak perempuan. Anak laki-laki dianggap sebagai pembawa keturunan ataupun penerus marga dari orangtuanya. Sebaliknya anak perempuan nanti akan “dijual” dan keturunan yang dilahirkannya akan mengikuti marga suaminya. Dalam kehidupan masyarakat Batak Toba, perempuan sering kali mendapat perlakuan yang kurang adil. Dengan sistem patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba, jelas menunjukkan bahwa anak laki-laki sebagai generasi penerus, sedangkan anak perempuan nanti akan ikut marga suaminya kelak dan tidak akan mendapat hak waris atas harta orangtuanya.
Sistem kekerabatan pada masyarakat patrilineal yang dianut oleh masyarakat Batak Toba ternyata juga mempengaruhi kedudukan janda yang merupakan anak perempuan. Kedudukan janda menurut adat bertitik tolak pada asas bahwa wanita sebagai orang asing sehingga tidak berhak untuk mendapat warisan, namun selaku isteri turut memiliki harta yang diperoleh selamanya karena ikatan perkawinan (harta bersama). Oleh sebab itulah, janda pada masyarakat Batak Toba ada suatu ketentuan, yaitu apabila janda diintegrasikan ke dalam kerabat suaminya, ia dapat menetap di sana dan mendapat nafkahnya. Akan tetapi, apabila janda tersebut memisahkan diri dari kerabat suaminya, janda tidak akan pernah berhak membawa benda milik suaminya. Nasib anak perempuan yang tidak mempunyai saudara laki-laki tidak berhak mendapat hak warisan dari orangtua karena sudah  dianggap punu[1] dan tidak akan dapat melanjutkan silsilah keluarganya dan keluarga tersebut akan hilang begitu saja.[2] Anak perempuan yang demikian disebut “siteanon”, artinya semua harta warisan ayahnya tidak boleh ada padanya dan harus diwarisi anak laki-laki dari saudara laki-laki ayahnya.
Kenyataan yang sangat ironis dalam budaya atau adat Batak Toba, jika perempuan itu menjadi janda cerai karena kematian suami maupun janda cerai hidup suami, maka dia tidak berhak mendapatkan apa-apa dari harta suami dan harta yang mereka kumpulkan bersama, dia hanya sebagai pengguna harta tersebut sebagai sumber kehidupannya. Dapat dikatakan seorang janda bagi masyarakat Batak Toba sangat menderita, dia tidak mendapat hak warisan dari orangtuanya dan dia juga tidak berhak mewarisi harta suaminya.
Maka dalam kenyataannya, seorang janda cerai karena kematian suaminya maupun janda cerai hidup tidak berhak mendapatkan warisan dari suaminya, hanya sebagai pengguna atau pemakai sebagai sumber hidupnya. Harta dari suaminya akan diserahkan kepada anak laki-lakinya jika ada, jika tidak ada maka akan diwariskan kepada saudara laki-laki suaminya, apabila seorang janda cerai karena kematian sumai. Tetapi jika janda cerai hidup maka janda tersebut tidak berhak mendapat apa-apa dari harta suamniya, hanya sebagai pemakai atau pengguna apabila ada kesepakatan. Jadi seorang perempuan yang sudah menikah dan meninggalkan kelompok marga orangtuanya, tidak mendapatkan harta warisan orangtuanya, hanya saudaranya laki-lakilah yang berhak mendapatkannya. Jika dia tida mempunyai saudara laki-laki maka harta warisan orangtuanya akan diserahkan kepada saudara laki-laki bapaknya.
Kedudukan perempuan dalam hukum adat Batak berbeda dengan ketentuan dalam hukum nasional, terutama soal warisan. Anak perempuan bukan sebagai ahli waris tetapi dapat menerima bagian harta warisan sebagai pemberian. Hukum adat Batak yang tidak menunjang, mendorong kesetaraan dan keadilan gender perlu ditinggalkan karena bertentangan dengan hak azasi manusia. Kedudukan perempuan sangat lemah dibanding laki-laki. Ini suatu indikasi adat Batak diskriminatif terhadap perempuan. Sementara dalam hukum nasional kedudukan seimbang baik dalam hak mau pun kewajiban.
Hukum adat Batak Toba yang patrilineal tidak mengakui adanya pembagian harta warisan bagi anak perempuan. Semua warisan dari orangtua diberikan pada anak laki-lakinya yang pada umumnya sebagai penyambung keturunan menurut garis bapak. Dewasa ini sistem hukum adat yang patrilineal yang dianut suku Batak Toba dalam hak warisan bagi anak laki-laki sedang mendapat ujian berat. Hal ini berkaitan dengan peraturan hukum nasional bagi seluruh warga negara Indonesia, dimana anak laki-laki dan perempuan memiliki hak yang sama dalam pembagian warisan. Oleh sebab itu hukum adat Batak tersebut kemudian disesuaikan. Anak laki–laki dan perempuan adalah sama dalam pembagian warisan.[3] Namun dalam kenyataannya tidak sama,  dalam prakteknya yang terjadi anak perempuan tetap tidak pernah mendapatkan harta warisan orangtuanya dan almarhum suaminya bagi seorang janda meskipun sudah ada peraturan dari hukum nasional.
22. Analisa Penyebab Perempuan dalam Budaya Adat Batak Toba tidak memperoleh Hak Waris
Hubungan sosial antara laki-laki dan perempuan dapat di lihat dari berbagai bidang kehidupan, antara lain bidang politik, sosial, ekonomi, budaya, dan hukum (baik hukum tertulis maupun tidak tertulis yakni hukum-hukum adat).hubungan social antara laki-laki dan perempuan dalam bidang kehidupan tersebut pada umumnya menunjukan hubungan yang sub-ordinasi yang artinya bahwa kedudukan perempuan lebih rendah di bandingkan dengan kedudukan laki-laki.
Hubungan yang sub-ordinasi tersebut yang dialami oleh perempuan seluruh dunia karena hubungan sub-ordinasi tidak saja dialami oleh masyarakat. Keadaan yang demikian tersebut dikarenakan adanya pengaruh dari ideologi patriarki yakni ideologi yang menempatkan kekuasaan pada tangan laki-laki dan ini terdapat di seluruh dunia. Keadaan seperti ini sudah mulai mendapat perlawanan dari kaum feminis, karena kaum feminis berjuang untuk menuntut kedudukan yang sama dengan kaum laki-laki dalam berbagai bidang kehidupan agar terhindar dari keadaan sub-ordinasi tersebut
Adanya stratifikasi gender dalam kehidupan bermasyarakat telah mendorong lahirnya gerakan sosial di kalangan kaum perempuan, yang bertujuan membela dan memperluas hak-hak kaum perempuan, gerakan ini disebut feminisme[4]. Perjuangan mengenai kesetaraan gender tentulah bukan hal yang gampang dilakukan, tidak jarang pemahaman dan empati perempuan di zaman modern sekarang ini ternyata justru masih terkungkung pada pola pikir patriarkhi.
Stratifikasi jenis kelamin (sex stratification) didasarkan pada faktor perolehan: sejak lahir laki-laki dan perempuan memperoleh hak dan kewajiban yang berbeda dan perbedaan tersebut biasanya akan mengarah pada suatu hirarki. Dalam banyak masyarakan, status laki-laki lebih tinggi dari perempuan. Sistem pewarisan pada beberapa masyarakat menunjukan kecenderungan bahwa laki-laki berhak mewarisi lebih dari perempuan; atau dalam bidang pekerjaan, khususnya pada kehidupan masyarakat yang belum begitu modern, dominasi laki-laki terasa lebih kental dibandingkan dengan perempuan, partisipasi perempuan dalam dunia kerja relatif lebih terbatas; dibandingkan dengan laki-laki para pekerja perempuan pun relatif lebih banyak terdapat di strata yang lebih rendah, dan sering menerima upah atau gaji yang lebih rendah dari laki-laki.
Dalam penggunaan teori stratifikasi gender yang dikemukakan oleh Collins, kekuatan fisik dan tawar-menawar atas sumber daya material dan simbolis menjadi variabel kritis. Ketika satu jenis kelamin mengontrol dengan cara pemaksaan yang dapat menggunakan kekuatan ini untuk mendominasi akan menghasilkan suatu sistem ketidaksetaraan gender. Dinamika ketidaksetaraan gender ini umum, secara historis, jelas disukai laki-laki yang memiliki keunggulan koersif yang akhirnya menentukan atas perempuan dan laki-laki telah menggunakan keuntungan ini untuk mengontrol ekonomi, politik serta sumber daya ideologis.[5] Namun, gender yang merasa didominasi akan mengembangkan strategi untuk memperbaiki posisi mereka. Collins berpendapat bahwa pihak gender yang didominasi akan berusaha untuk membatasi hubungan seksual dengan jenis kelamin yang dominan.
Wacana mengenai waris berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat menempatkan kedudukan dan peranan laki-laki dan perempuan dalam struktur kekerabatan, dan mensosialisasikannya melalui konsep-konsep gender tentang laki-laki dan perempuan, nilai-nilai, pranata sosial dan pranata hukum yang ditetapkan sebagai acuan berperilaku. Dalam hal ini acuan berperilaku tersebut juga menetapkan hak dan kewajiban laki-laki dan perempuan dalam hubungan-hubungan kekerabatan dan hubungan sosial.
Cara pandang yang menempatkan perempuan dan laki-laki pada tempatnya masing-masing dalam hubungan kekerabatan itu merupakan cara ampuh bagi dipertahankannya patriarkhi, dengan mengorbankan perempuan melalui pembatasan terhadap harta milik. Dalam kaitannya dengan masalah waris, khususnya akses kepada tanah, rumah dan benda-benda tidak bergerak, selanjutnya dikatakan bahwa dalam sistem patrilineal yang dianggap berharga adalah hubungan antara seorang laki-laki dengan anak laki-laki dari istirnya, maka akses perempuan ke dalam harta waris tergantung pada kemampuannya memelihara anak laki-lakinya tersebut bagi kepentingan kekerabatan.[6]
Sebagian bahan Alkitab yang tampaknya tidak berbicara kepada perempuan, atau bahkan tampaknya memusuhi mereka dapat ditafsirkan ulang untuk menemukan tema-tema pembebasan bagi perempuan yang tersubordinasi. Pendapat perempuan bahwa penafsiran Alkitab yang androsentrik adalah salah, disertai dengan penekanan atas sebagian besar bahan Kitab Suci yang menujukkan identifikasi Allah dengan orang-orang tertindas, menciptakan penafsiran yang kritis. Kesadaran yang terus bertumbuh di dalam perempuan-perempuan mengahsilkan katalisator esensial, yakni pemahaman bahwa perempuan termasuk dalam kategori orang miskin, orang tertindas dan orang tersingkir.[7] Bergerak dari titik tolak kritis ini, perempuan dapat mulai menyelidiki dan menafsir ulang teks-teks tersebut dengan membayangkan hubungan baru antara teks itu dan pengalaman mereka.
33. Refleksi Teologis terhadap Kedudukan Anak Perempuan dan Janda dalam Hukum Waris Adat Batak.
Pemahaman “manusia” semakin penting dibicarakan seiring dengan berkembangnya issu gender. Perjuangan hak-hak azasi perempuan untuk diperlakukan sama dengan laki-laki semakin penting ditelusuri. Kedengarannya penindasan laki-laki terhadap perempuan lebih banyak diperbincangkan karena kenyatannya lebih banyak laki-laki yang mendenominasi, misalnya dalam hak warisan, laki-lakilah yang mempunyai hak waris, perempuan dan janda tidak mendapat hak.
Berbicara tentang manusia merupakan hal yang tidak pernah habis sepanjang manusia itu ada. Setiap agama, budaya selalu berusaha menelusuri asa muasal manusia itu sendiri. Pemahaman sumber asal manusia itu sendiri berperan besar dalam kehidupan umat manusia. Sejak umat manusia sebagaimana disaksikan Alkitab mempunyai pengaruh besar dalam kehidupan manusia. Masalah penafsiran Alkitab sering dipersoalkan terutama pada akhir abad ini. Struktur Alkitab yang androcentris (berpusat pada laki-laki) dianggap sebagap sumber yang mendukung berlangsungnya dominasi laki-laki terhadap perempuan. Oleh karena itu ada penafsiran yang berusaha mengganti setiap kata yang berbau androcentris dengan gnyocentris (mendukung pemahaman gender).[8]
Untuk memperoleh gambaran yang benar tentang manusia, kita perlu mendengar Firman Allah yang diberitakan. Dua versi penciptaan itu sendiri turut menentukan arus perkembangan mansuia. Cerita perempuan diambil dari rusuk Adam seringkali dipahami sebagai hal yang membuktikan bahwa perempuan lebih rendah dari pada laki-laki. Perempuan adalah bagian dari laki-laki. “Tuhan Allah membentuk manusia itu dari debu tanah dan meghembuskan nafas hidup ke dalam hidungnya, demikianlah manusia itu menjadi mahkluk hidup”. Jadi Allah menciptakan manusia (laki-laki atau perempuan, yang jelas dia menjadi mahkluk yang hidup.
Lebih jauh dijelaskan dalam Kejadian 1:27 “Maka Allah menciptakan manusia itu menurut gambarNya, menurut gambar Allah diciptakanNya dia, laki-laki dan perempuan diciptakanNya”. Pengakuan iman ini menggaris bawahi kesamaan martabad dan hak antara laki-laki dan perempuan dihadapan Allah. Tidak ada yang lebih tinggi dan yang lebih rendah terhadap yang lain, haknya dan kewanjibannya sama terhadap yang lain.
Dalam pemahaman Paulus bahwa kesetaraan laki-laki dan perempuan dilihat dari iman di dalam Yesus Kristus. Manusia baru yang hidup di dalam Kristus sebagai warga Kerajaan Allah dimulai sejak peristiwa baptisan. Maka ada satu hal yang paling pokok disoroti oleh Paulus yang berhubungan dengan kesetaraan laki-laki dan perempuan yaitu dalam hubungan gender, laki-laki dan perempuan. Manusia tidak dihargai menurut jenis kelaminnya sebagai yang utama dan yang nomor dua. (dihargai menurut harkat dan martabatnya) sebagai pewaris Kerajaan Allah.
Sehubungan dengan itu untuk menentukan yang berhak menjadi ahli waris bukan jenis kelamin laki-lai atau per empuan. Tetapi harus dilihat dari persekutuan orang-orang yang telah dibaptis dalam Kristus. Bahwa Kristus telah menebus manusia dari segala perbudakan dan diskriminasi yang didasarkan atas perbedaan-perbedaan jenis kelamin.
Adat dan budaya Batak Toba telah menciptakan dan memelihara diskriminasi yang pada akhirnya menindas kaum perempuan dan janda, sehingga pembagian harta warisan hanya didominasi laki-laki, janda dan perempuan tidak diberikan hak apa-apa. Menurut ajaran Kristen yang didasarkan dengan Firman Tuhan pembagian harta warisan tidak dilihat dari status dan jenis kelamin, tetapi implementasinya adalah kebersamaan manusia dalam kehidupan sehari-hari didasarkan pada penerimaan manusia sebagai sesama manusia di dalam Yesus Kristus. Manusia tidak harus semua sama, tidak semua harus menjadi laki-laki atau perempuan, justru dalam perbedaan itu dapat diberlakukan kebersamaan dalam perbedaan. Menerima perbedaan awal memasuki penghayatan kesetaraan.
Dalam Bilangan 27 : 1-11, sangat jelas dikatakan bagaimana Tuhan Allah membela kaum perempuan untuk mendapatkan haknya sebagai ahli waris harta orang tuanya. Ketika anak perempuan Zelafehad kehilangan bapaknya karena meninggal di medan pertempuan mereka tidak diberikan hak untuk mewarisi harta bapaknya, karena mereka tidak punya saudara laki-laki, sehingga menurut adat Yahudi harta orang tuanya harus diserahkna pada orang lain. Oleh karena itu Tuhan Allah memerintahkan Musa agar membuat hukum dan ketentuan tentang hak waris kepada kaum  perempuan. Tuhan berfirman kepada Musa : “Memang engkau harus memberikan tanah milik pusaka kepadanya (perempuan) ditengah-tengah saudara-saudara ayahnya engkau harus memindahkan kepadanya hak atas milik pusaka ayahnya” (Bilangan 27:7).
Maka dengan ini sangat jelas, bahwa Tuhan menentang adat dan budaya yang bertindak diskriminatif terhadap kaum perempuan, khususnya mengenai pembagian harta warisan. Laki-laki dan perempuan maupun janda sama-sama mendapatkan hak sebagai ahli waris dari harta orangtuanya ataupun suaminya karena mereka sama dihadapan Tuhan, sama-sama anak Allah yang telah ditebus dan dipersatukan dalam kasih Kristus.
44. Rencana dan Aksi Baru
Budaya patriarkhi yang sudah merasuki hampir seluruh kehidupan masyarakat tentu tidak akan bisa dihilangkan begitu saja. karena pada umumnya mereka terikat pada konsep-konsep dan nilai-nilai mengenai perempuan, yang ditempatkan dalam arena domestik dan kungkungan adat. Kalaupun mereka mampu keluar dari peran tradisionalnya menjalani pendidikan tinggi, menjalani berbagi profesi-profesi terhormat dalam masyarakat, mereka tetap tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban-kewajiban adatnya. Misalnya mereka harus melahirkan anak, menjadi ibu dan istri yang baik bagi anak dan suaminya, sekaligus menjadi kerabat yang baik bagi keluarga suaminya maupun kelompok kekerabatan ayahnya. Sudah sepantasnya pada masa sekarang ini pembagian harta warisan secara hukum waris adat Batak Toba dilaksanakan secara sama rata terhadap laki-laki dan perempuan sejauh tidak merusak struktur dan falsafah Dalihan Na Tolu yang ada dalam masyarakat Batak. Peranan perempuan dalam kehidupan masyarakat pada saat ini juga sudah sedemikian maju mengikuti perkembangan zaman dan era modernisasi, serta sudah adanya persamaan derajat antara laki-laki dengan perempuan. Adapun rencana dan aksi baru yang dapat dilakukan sejauh ini, menurut analisa yang saya lakukan adalah sebagai berikut:
a.       Menafsirkan kembali Kitab Suci yang kental dengan bias gender, khsususnya ayat-ayat Kitab Suci yang membuat perempuan menjadi tersubordinasi.
b.      Menyadarkan para tokoh-tokoh adat Batak akan kerugian yang dialami oleh para perempuan akan pelaksanaan budaya patriarkhi.
c.       Menanamkan kesadaran gender sejak awal kepada anak-anak melaui pendidikan, baik pendidikan melalui keluarga, sekolah, gereja dan lembaga pendidikan lainnya.
d.      Melalui gereja, gereja sudah seharusnya memberi kesadaran kepada jemaat akan pentingnya kesetaraan dan keadilan gender tanpa menghilangkan esensi dari budaya adat Batak tersebut. Misalnya melalui seminar ataupun melalui kotbah-kotbah di gereja dan dalam materi-materi PA.
e.       Kerjasama dengan lembaga hukum, misalnya melalui pembuatan surat wasiat mengenai pembagian harta warisan yang disaksikan dan ditanda tangani oleh seorang notaris, agar ketika orangtua tersebut meninggal, anak-anak perempuan telah memiliki bukti hukum bahwa mereka juga mendapat harta warisan dari orangtuanya.
Daftar Pustaka
Dj. Gultom Rajamapodang, Dalihan Na Tolu Nilai Batak Budaya Suku Batak, Medan: CV.Armada, 1992.
Jonathan H.Turner, The Structure of Sociological Theory, Riverside: University of Califonia 1998.
Letty M. Russel, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, Yogyakarta: Kanisius, 1998
Nalom Siahaan, Adat Dalihan Na Tolu (Prinsip dan Pelaksanaannya), Jakarta: Tulus Jaya, 1982.
Pdt. Martonggo Sitinjak, Pemahaman Manusia Dari Sudut Pandang Alkitab, dalam Wanita Mitra Sejajar Pria, Medan: Panitia Pertemuan Raya Wanita HKBP, 1998.
Soerjono Soekanto, Sosiologi Suatu Pengantar, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada 1990.
Soerjono soekanto, Berberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada,1993.
Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2003.
Sunarto Kamanto, Pengantar Sosiologi, Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004.





[1] Punu merupakan istilah bagi keluarga yang tidak memiliki anak laki-laki, maka keluarga tersebut akan dianggap punah keturunan dari kepala keluarga tersebut.
[2] Dj. Gultom Rajamapodang, Dalihan Na Tolu Nilai Batak Budaya Suku Batak, (Medan: CV.Armada, 1992), 105
[3]. Brisman Silaban, Pergeseran Adat Batak Toba, www.AdatBatak.com, diunduh pada 1 April 2013, pukul 10.00 WIB
[4] Sunarto Kamanto, Pengantar Sosiologi, (Jakarta: Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, 2004), 114
[5] Jonathan H.Turner, The Structure of Sociological Theory, (Riverside: University of Califonia 1998) 231
[6] Sulistyowati Irianto, Perempuan Diantara Berbagai Pilihan Hukum (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia 2003), 81

[7] Letty M. Russel, Perempuan dan Tafsir Kitab Suci, (Yogyakarta: Kanisius, 1998), 110
[8] . Pdt. Martonggo Sitinjak, Pemahaman Manusia Dari Sudut Pandang Alkitab, dalam Wanita Mitra Sejajar Pria, (Medan: Panitia Pertemuan Raya Wanita HKBP, 1998), 138.

Post a Comment for "STUDI GENDER"