Matius 21: 23-32
Khotbah
Lexionary
Yehezkiel
18: 1 – 4, 25 – 32; Mazmur 25: 1 – 9
Filipi
2: 1 – 13; Matius 21: 23 – 32
Menjadi
Hamba bagi Sang Pemimpin
Setelah saya membaca
keempat nats ini, saya menjadi teringat pada suatu siaran televisi yang pernah
menyiarkan tentang kehidupan para abdi
dalem dalam sebuah keraton. Tahukah saudara berapa rupiah yang diterima
oleh para abdi dalem keraton yang mau
menghambakan dirinya kepada sang raja? Upah yang mereka terima sangatlah
sedikit, namun mereka rela setiap hari mengayuh sepedadan ada juga yang naik
kendaraan umum; mereka rela dibayar hanya dalam hitungan belasan ribu rupiah
saja. Hal ini mereka lakukan karena mereka percaya bahwa dekat dengan sang raja
yang merupakan pemimpin dan pengayomnya, maka mereka akan mendapatkan berkat
yang tidak bisa terbeli. Bagi abdi dalem,
dekat dengan pemimpin adalah sebuah kebanggaan dan anugerah khusus. Oleh karena
mereka tetap setia menjadi abdi dalem,
walaupun secara hitungan materiil mereka tidak akan mungkin menjadi kaya dengan
upah yang mereka terima tiap bulan.
Hal tersebut menarik
untuk kita perhatikan, yang mana para abdi
dalem rela memberikan seluruh kehidupannya untuk sang raja. Jika abdi dalem saja mau menghambakan diri
kepada sang raja, bagaimana dengan diri kita? Apakah kita sudah menghambakan
diri sepenuhnya kepada Tuhan yang merupakan sebagai sang penguasa dan pemimipin
bagi kita?
Pada bacaan yang
pertama, Yehezkiel 18: 1 – 4, 25 menjelaskan bahwa bangsa Israel yang dikatakan
sebagai umat pilihan Allah menjadi bangsa yang sombong dan tidak menunjukkan
jati diri sebagai bangsa yang telah dipilih oleh Allah. Bangsa Israel tidak mau
menjadi hamba, bahkan mereka meyalahkan Tuhan atas semua peristiwa yang mereka
alami. Semua kebaikan Tuhan justru mereka balas dengan berbagai kejahatan. Hal-hal seperti ini sampai sekarang juga
masih terjadi. Manusia seringkali membalas kebaikan sesamanya dengan kejahatan.
Yehezkiel mengaskan bahwa setiap generasi mempunyai tanggungjawab sendiri.
Malapetaka yang dialalami generasi sekarang adalah tanggungjawab generasi itu
juga, dan tidak bisa dilemparkan kepada tanggungjawab generasi yang lebih dulu.
Namun, walaupun demikian jahatnya bangsa Israel, Tuhan tetap saja masih memberi
kesempatan kepada bangsa Israel.
Dalam kesaksian
pemazmur (Mazmur 25: 1-9), terdapat hal yang sangat berbeda dengan sifat bangsa
Israel. Pemazmur mengajarkan suatu tindakan yang bijak, yang mana pemazmur yang
menaikkan pujian karena kuasa Tuhan atas hidupnya. Tuhan menciptakan manusia
dan melengkapinya dengan akal budi. Akal budi pemberian Tuhan tersebut
seharusnya menjadi sarana bagi manusia untuk menentukan pilihan kepada siapa
dia menyerahkan iman percayanya. Sebagai umat yang percaya, kita harus mampu
menggunakan pilihan dengan benar. Pemazmur mengimani bahwa Tuhan menjadi pemimpin
hidupnya, maka dia memohon agar hidupnya senantiasa dibimbing oleh Tuhan.
Pemzmur memohon karunia pengampunan atas dosa yang dilakukannya di masa lalu
serta berpengharapan bahwa Tuhan akan membimbing orang yang mau merendahkan
hati dengan jalan patuh dan setia kepada Tuhan.
Kesaksian Filipi kita
dapat menemukan manifestasi dari iman, yang mana Tuhan sebagai pemimpin
umat-Nya. Menghambakan diri kepda Tuhan itu berarti hidup dalam damai
sejahtera. Dan orang yang di dalam hatinya didiami oleh damai sejahtera
kelihatan di dalam tindakan-tindakan keseharian yaitu di dalam hidup bersama
menekankan sikap sehat sepikir tidak mencari keuntungan untuk diri sendiri.
Selanjutnya pengajaran tersebut ditegaskan dengan pengajaran Injil Matius
21:23-32. Dialog antara Yesus dengan imam-imam kepala serta tua-tua Yahudi
menjadi sebuah sarana pengajaran tentang kuasa dan penyerahan diri atau yang
saya sebut sebagai penghambaan diri.
Manusia berhak
menentukan atas dirinya sendiri kuasa siapakah yang dipercaya atau diimaninya. Memang
di dunia ini ditawarkan berbagai kuasa yang dapat dijadikan pegangan hidup atau
pemimpin bagi manusia. Memang selain Tuhan manusia dapat menggantungkan
harapannya kepada kuasa-kuasa yang ada di dunia ini. Dan hal inilah justru yang
sangat sering dilakukan oleh manusia. Kecenderungan manusia untuk memilih
menggunakan kekuatan-kekuatan yang ditawarkan oleh dunia, misalnya yang sering
dipilih manusia adalah menemui dan berkonsulatasi dengan seorang dukun untuk
mencapai suatu tujuan yang ingin dicapainya. Namun, bagi orang percaya tidaklah
bijak jika yang menjadi penguasa ataupemimpin dalam hidupnya bukan Tuhan.
Persis seperti yang dilakukan oleh bangsa Israel, yang mana mereka telah
diselamatkan oleh Allah namun mereka menanggapi kasih karunia Allah tersebut
dengan tindakan-tindakan yang jahat dan tidak mau menghambakan dirinya kepada
Tuhan.
Hal berikutnya yang
terkandung dalam pengajaran Matius adalah tentang penyerahan diri. Yesus dengan
tegas mengkritik sikap para petinggi agama Yahudi yang percaya kepada kepada
Allah, namun kecenderungan sikap percaya mereka adalah semu. Pernyataan Yesus
tentang pemungut cukai dan perempuan sundal yang justru berhak masuk Kerajaan
Allah terkandung maksud bahwa manusia-manusia dari kelas marginal mau
menghambakan dirinya kepada Tuhan dengan serius. Maka merekalah yang berhak
menerima karunia khusus dari Tuhan melebihi manusia-manusia dari golongan priayi atau kaum elit.
Jika kita mengakui
bahwa Tuhan adalah pemimpin kita, maka sudah sepatutnya kita percaya dan
menjadi hamba. Ketika Tuhan menjadi pemimpin atas hidup kita maka
keinginan-keinginan atau pikiran kita mengarah pada kebenaran, bukan senantiasa
merancang kejahatan-kejahatan yang baru.ketika Tuhan menjadi pemimpin kita maka
tutur kata kita membawa kedamaian, penguatan, penghiburan serta semangan bagi
sesama. Bukalah tutur kata yang melecehkan, menindas, menfitnah serta menyakiti
sesama.
Melalui firman yang
kita cermati bersama, maka saat ini kita terpanggil untuk meneliti kembali
kehidupan kita. Jika saat ini kita merasa bahwa pengakuan atas kepemimpinan
Tuhan tersebut hanya sekedar pengakuan tanpa didasari kepercayaan yang
sungguh-sungguh dan diikuti dengan keinginan menjadi seorang hamba, maka sudah
sepatutnya kita harus merubah hal tersebut. Selagi masih ada waktu untuk kita
memperbaiki diri kita masing-masing niscaya Tuhan memampukan kita untuk
melaksanakan niat baik tersebut.
Kiranya Tuhan
memberkati kita semua. Amin.
Post a Comment for "Matius 21: 23-32"