Agama dan Kebudayaan
BROBOSAN
TINJAUAN TERHADAP PELAKSANAAN RITUAL BROBOSAN DALAM TRADISI JAWA
BAB
I
PENDAHULUAN
Kebudayaan merupakan suatu bagian yang tidak akan mungkin dapat
dipisahkan dari kehidupan manusia, hal ini disebabkan oleh karena manusia
adalah makhluk sosial, makhluk yang hidup bergantung satu dengan yang lainnya,
sehingga kebudayaan yang adalah karya manusia sendiri justru ada untuk mengatur
jalannya kehidupan antar manusia serta hubungannya dengan alam.[1] Setiap suku bangsa memiliki kebudayaannya
masing-masing, dan tentunya setiap kebudayaan berbeda satu dengan yang lain[2], demikian juga suku Jawa yang memiliki jenis
kebudayaan tersendiri, serta tidak mungkin sama persis dengan suku-suku yang
lain di negara Indonesia. Salah satu keunikan dari kebudayaan Jawa yaitu ada
berbagai macam ritual yang dilaksanakan kepada manusia sejak masih berada dalam
kandungan hingga dewasa, dan bahkan juga ada yang berlaku sampai pada saat
mereka meninggal dunia.
Apabila diperhatikan secara seksama, ternyata ada berbagai upacara
atau ritual yang wajib dilaksanakan secara bertahap dalam kehidupan orang Jawa,
maksudnya ialah supaya kehidupan setiap manusia, dalam hal ini orang Jawa,
dapat terlepas serta dijauhkan, atau paling tidak bisa mengurangi kemungkinan
seseorang tertimpa bencana, sakit-penyakit atau bahkan bahaya yang mungkin saja
dapat mengancam nyawa manusia itu sendiri, serta orang-orang yang berada di
sekitarnya. Intinya selama hidupnya, pada umumnya setiap orang Jawa dipenuhi
dengan berbagai macam ritual atau selamatan-selamatan,
yang dipercaya sebagai sarana untuk keselamatan diri.
Satu hal yang membuat kelompok tertarik dengan kebudayaan Jawa ialah mengenai ritual yang
dilaksanakan saat kematian orang tua. Apabila dalam keluarga, orang tua
meninggal dunia, maka ada ritual yang harus dilaksanakan sebelum jenasah
diberangkatkan ke tempat pemakaman. Ritual tersebut dijalani oleh anak, cucu
dan cicit dari mendiang orang tua tersebut. Ritual yang dilaksanakan di halaman
rumah duka itu, dikenal dengan istilah brobosan.
Brobosan juga dijadikan sebagai suatu simbol keikhlasan terhadap orang tua yang
baru saja pergi meninggalkan dunia ini.
Upacara Brobosan
adalah salah satu upacara tradisional
dalam adat istiadat kematian jawa adalah upacara Brobosan. Upacara Brobosan ini
bertujuan untuk menunjukkan penghormatan dari sanak keluarga kepada orang tua
dan leluhur mereka yang telah meninggal dunia. Upacara Brobosan diselenggarakan
di halaman rumah orang yang meninggal, sebelum dimakamkan, dan dipimpin oleh
anggota keluarga yang paling tua.
Tradisi
Brobosan dilangsungkan secara berurutan sebagai berikut: 1) peti mati dibawa
keluar menuju ke halaman rumah dan dijunjung tinggi ke atas setelah upacara doa
kematian selesai, 2) anak laki-laki tertua, anak perempuan, cucu laki-laki dan
cucu perempuan, berjalan berurutan melewati peti mati yang berada di atas mereka
(mrobos) selama tiga kali dan searah jarum jam, 3) urutan selalu diawali dari
anak laki-laki tertua dan keluarga inti berada di urutan pertama; anak yang
lebih muda beserta keluarganya mengikuti di belakang.[3]
BAB
II
KEHIDUPAN
SOSIAL BUDAYA JAWA
Menurut hikayat, asal muasal suku
Jawa diawali dari datangnya seorang satria pinandita yang bernama Aji Saka. Ia
adalah orang yang menulis sebuah sajak, dimana sajak itu yang kini disebut
sebagai abjad huruf Jawa hingga saat ini. Maka dari itu, asal mula sajak inilah
yang digunakan sebagai penanggalan kalender Saka. Definisi suku Jawa adalah
penduduk asli pulau Jawa bagian tengah dan timur, kecuali pulau Madura. Selain
itu, mereka yang menggunakan bahasa Jawa dalam kesehariannya untuk berkomunikasi
juga termasuk dalam suku Jawa, meskipun tidak secara langsung berasal dari
pulau Jawa. Demikian adalah definisi Magnis-Suseno mengenai suku bangsa Jawa.
Asal usul suku Jawa juga berkaitan dengan bahasa yang digunakan, yakni bahasa
Jawa. Secara resmi, ada dua jenis bahasa Jawa yang digunakan oleh masyarakat
suku Jawa. Dua jenis bahasa ini tersedia sebagai berikut:
- Bahasa
Jawa Ngoko adalah bahasa Jawa yang digunakan oleh orang yang sudah akrab,
orang dengan usia yang sama atau seseorang kepada orang lain yang status
sosialnya lebih rendah.
- Bahasa
Jawa Kromo. Bahasa tersebut digunakan kepada orang yang belum akrab, dari
orang muda kepada orang tua atau dengan orang yang status sosialnya lebih
tinggi.
Pada bahasa Kromo, masih ada pembagian menjadi dua
macam, yakni Kromo Madya dan Kromo Halus atau Kromo Inggil. Dimana Kromo Madya
digunakan sebagai bahasa pergaulan yang lebih sopan daripada bahasa Ngoko.
Sedangkan untuk Kromo Inggil digunakan kepada orang yang lebih tua atau
memiliki jabatan dan status sosial yang jauh lebih tinggi dibandingkan yang
berbicara.
Penggolongan
sosial masyarakat Jawa
Dalam masyarakat Jawa terdapat penggolongan sosial
yang pernah dibahas oleh seorang antropolog dari Amerika Serikat bernama
Clifford Geertz. Ia membagi suku Jawa dalam tiga golongan. Golongan tersebut
antara lain:
- Kaum
santri
Golongan ini
adalah mereka yang memeluk agama Islam dan menganut agama Islam sebagai jalan
hidupnya.
- Kaum
Abangan
Kaum abangan
adalah mereka yang masih berpegang pada adat istiadat Jawa, meskipun mereka
memeluk berbagai agama. Kaum ini sering disebut dengan Kejawen, maka ada
istilah Islam Kejawen, Kristen Kejawen dan lain diantaranya. Beberapa priyayi
kuno masuk dalam golongan ini.
- Kaum
Priyayi
Kaum priyayi
adalah mereka yang bekerja sebagai pegawai atau para cendikiawan. Mereka pada
umumnya bekerja untuk pemerintah atau swasta dengan status sosial yang lebih
tinggi dari orang kebanyakan.
Pandangan hidup
dan kepercayaan suku Jawa
Masing-masing suku bangsa di Indonesia pasti memiliki pandangan hidup
dan kepercayaan masing-masing. Suku Jawa menyakini bahwa apa yang ada di dunia
ini adalah satu kesatuan hidup yang harus dipelihara dengan harmoni. Manusia
itu satu kesatuan dengan alam semesta, hal ini menyebabkan masyarakat Jawa
yakin bahwa hidup manusia adalah suatu pengembaraan yang penuh dengan
pengalaman religius. Hal ini membuat suku Jawa menggolongkan hidup berdasarkan
ulasan diatas. Hidup ini terdiri dari dua macam alam, yakni:
- Alam
Makrokosmik yakni alam yang misterius, penuh dengan hal yang sifatnya
supranatural.
- Alam
Mikrokosmik yakni alam yang nyata, alam yang kita tinggali saat ini.
Definisi dua alam ini menunjukkan bahwa suku Jawa memiliki tujuan
hidup, yakni mencapai keseimbangan dalam mikrokosmik dan makrokosmik.
Kepercayaan yang terbesar adalah untuk memiliki kehidupan yang baik di dunia,
kita harus menjadi pribadi dan jiwa yang baik. Pembagian alam ini ditujukan
untuk memudahkan masyarakat suku Jawa menjalani kehidupan. Sedangkan mengenai
sistem kepercayaan kepada sang pencipta, suku Jawa adalah paling berpikiran
terbuka, namun kebanyakan masih menganut kejawen. Kejawen adalah kepercayaan
warisan nenek moyang yang memiliki sinkritisme dengan agama Hindu. Hal ini
sangat wajar karena agama Hindu dan Budha menyebar terlebih dahulu daripada
agama Islam di pulau Jawa.
BAB III
PANDANGAN ORANG JAWA TENTANG
HIDUP DAN MATI
PANDANGAN ORANG JAWA TENTANG HIDUP
Pada
umumnya kelahiran dipahami sebagai awal dari kehadiran manusia di dunia, dengan kata lain kelahiran merupakan awal dari
sebuah kehidupan. Keberadaan manusia di dunia merupakan hal yang paling utama
dalam suatu kehidupan, yang mana manusia dapat melakukan hal-hal yang dianggap
bermakna bagi kehidupan itu sendiri, berbeda dengan pandangan dari orang Jawa, justru menganggap kehidupan
manusia di bumi hanyalah sesuatu yang sementara dan merupakan suatu
persinggahan saja, demi melanjutkan perjalanan
ke tujuan yang sesungguhnya.
Pada dasarnya, ada dua pandangan orang Jawa tentang hidup yang saling
berhubungan; diantaranya:
1) Urip iku mung mampir ngombe, yang artinya “hidup itu hanya singgah / berkunjung untuk minum; dan
2) Urip iku mung mampir blanja, yang artinya “hidup itu hanya berkunjung untuk berbelanja”
Orang
hidup sebagai musafir (orang yang sedang berjalan ke suatu tempat), itu berarti
manusia yang hidup, suatu saat pasti akan meninggalkan dunia nyata, dan pergi
ke dunia lain (dari sudut pandang rohani)
Pandangan orang Jawa mengenai hidup tidak akan terlepas pada harapan
akan keselamatan (dan juga pada setiap manusia pada umumnya). Dalam Serat Tjablaka, diberikan gambaran yang
sederhana mengenai pengharapan akan keselamatan, bahwa setiap perjumpaan antar
manusia, apalagi yang relatif cukup lama, tidak berjumpa, selalu diawali dengan
tegur-sapa: Selamat pagi! Selamat malam! Selamat jalan! Selamat tinggal, dan
seterusnya; oleh ungkapan Jawa disebut andum
slamet, yang artinya berbagi keselamatan.[4] Di dalam perjumpaan “teman lama”,
pertama-tama yang ditanya bukanlah rumah, mobil atau harta benda lainnya,
melainkan yang utama tentang keselamatannya.
Hal tersebut merupakan suatu bukti bahwa setiap manusia memerlukan keselamatan.[5] Sementara itu, yang dibutuhkan manusia, bukan
hanya keselamatan pada waktu sekarang ini saja, melainkan juga keselamatan di
dunia mendatang. Bukan keselamatan yang sifatnya sementara, tetapi keselamatan
yang kekal. Keselamatan yang diharapkan oleh setiap manusia, bukan soal jasmani
dalam bentuk banyak teman, berlimpah harta bendanya, melainkan dan yang
terutama adalah keselamatan rohani; dengan kata lain, yang diperlukan manusia
ialah keselamatan rohani di dunia dan akhirat, yaitu sesudah manusia
meninggalkan dunia ini.[6]
Suatu
ungkapan yang tidak mungkin dilupakan secara turun-temurun dalam kehidupan
orang Jawa pada umumnya ialah “urip iku
mung mampir ngombe”, yang artinya “hidup di dunia ini ibarat singgah untuk
minum”. Bagi orang Jawa, kehidupan merupakan suatu perjalanan, dan dunia
diibaratkan hanya sebagai tempat persinggahan sementara untuk minum, demi
melanjutkan suatu perjalanan panjang.[7]
Seorang dalang di Jawa Tengah yang terkenal pada masanya, bernama Ki
Nartosabdo (alm) juga pernah mengutip bait Dhandanggula, yang berbunyi:
Kawruhana sejatining urip, manungsa urip neng alam donya, prasasat
mung mampir ngombe. Umpama manuk-manuk mabur, lunga saka kurunganeki, pundi
pencokan mbenjang, ywa kongsi kaliru. Umpama wong lunga sanja, njan-sinanjan
ora wurung bakal mulih, mulih mula-mulanya
.
Dengan
terjemahan agak bebas:
“Ketahuilah hidup sebenarnya, bahwa hidup di
dunia ini semisal singgah untuk minum. Seperti burung lepas dari sangkarnya,
kemana akan hinggap, jangan sampai tesesat. Seperti orang yang pergi
bertandang, pasti ada waktunya akan kembali ke rumah asal-mulanya”.[8]
Disebutkan bahwa kembali ke
rumahnya, atau ke asalnya, berarti kembali kepada Tuhan, itulah keselamatan
yang didamba-dambakan oleh setiap manusia. Tuhan adalah penciptanya, dan
manusia ingin menyatu dengan Tuhan-nya secara sempurna, artinya menyatu dengan
tanpa dapat dibedakan satu dari yang lain. Penyatuan semacam inilah yang
diungkapkan dengan kalimat “manunggaling
kawula lan Gusti” atau “jumbuhing
kawula lan Gusti”.[9] Menurut pemahaman orang Jawa, sesudah menyatu
dengan Tuhan secara sempurna, berarti manusia tidak akan lagi mengalami
duka-derita, karena secara penuh terserap ke dalam kemuliaan-Nya dan untuk
selamanya.
“Mampir
ngombe” atau “singgah minum”, yang dianggap sementara di dunia ini, bukan
berarti bahwa manusia bisa menjalani kehidupan di dunia ini dengan seenaknya
saja, melainkan ada berbagai aturan serta norma yang akan mengatur kehidupan
manusia di persinggahan tersebut,
sehingga perjalanan selanjutnya tidak mengakibatkan manusia salah jalan; oleh karena itu ada
berbagai macam upacara adat atau sering disebut selamatan, yang tentunya bertujuan agar manusia tetap selamat, baik itu di persinggahan, maupun di perjalanan yang akan dilanjutkan setelah
melewati persinggahan tersebut.
Berbagai Selamatan yang dilaksanakan, berdasarkan pada tiga unsur penting
dalam kehidupan manusia di persinggahan
(dunia) yang dibagi oleh para leluhur, yaitu: lahir, menikah, dan meninggal.
Setiap selamatan yang dilaksanakan,
semata-mata hanya untuk menjaga supaya selama manusia hidup di dunia, tidak
akan mengalami marabahaya, ataupun bencana yang nantinya akan berakibat fatal
bagi kehidupan manusia itu sendiri.[10]
PANDANGAN ORANG JAWA TENTANG KEMATIAN
Semua orang pasti suatu saat akan mati, entah bagaimana caranya atau
seperti apa matinya; dan setiap orang pasti akan merasakan kematian, walaupun
arti ‘merasakan’ itu tidak sama dengan yang dipersepsikan oleh orang yang
hidup. Kematian adalah salah satu bagian dari kehidupan yang pasti dijalani,
sama seperti kelahiran. Bedanya adalah kelahiran menandai awal dari suatu
kehidupan , sedangkan kematian menandai akhir dari suatu kehidupan; sama halnya
juga dengan salah satu definisi dari kematian, yaitu akhir dari kehidupan,
ketiadaan nyawa dalam organisme biologis[11]. Banyak yang percaya bahwa kematian adalah
akhir dari segalanya dan akhir dari eksistensi seseorang, dan setelah itu yang
ada adalah ketiadaan, namun banyak juga yang percaya bahwa kematian adalah awal
dari suatu ketiadaan.
Dalam
pandangan orang Jawa, seperti yang dipaparkan oleh Suwardi Endraswara dalam
bukunya yang berjudul Falsafah Hidup
Jawa, menuliskan bahwa Tuhan Maha Pencipta memiliki hak mutlak untuk
membuat garis terhadap ciptaanNya, bahkan kematian dengan cara apapun yang
dialami oleh setiap manusia diyakini dari sudut pandang kejawen sebagai takdir
yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh manusia. Manusia hanya bisa menerima (narimo)
semuanya dengan pasrah. Kematian merupakan sesuatu yang tidak bisa dielakkan
oleh manusia, yang oleh orang Jawa dikenal dengan istilah pepesthen, karsaning Gusti.[12]
Ungkapan yang telah disebutkan sebelumnya mengenai pandangan orang Jawa tentang hidup,
yaitu “urip iku mung mampir ngombe” ,
berarti bahwa hidup di dunia itu ibarat mampir minum sebentar, suatu saat nanti
setiap manusia akan melanjutkan perjalanan hingga tiba pada tujuan yang
sebenarnya, yaitu kembali bersatu dengan Sang Penciptanya (Manunggaling kawula lan Gusti atau jumbuhing kawula lan Gusti) melalui kematian.[13]
Pada dasarnya bagi orang Jawa, mati merupakan:
1) Murud ing kasidyan jati, yang artinya mundur dari dunia, menuju kematian (kesempurnaan), yang
tidak lain dikenal dengan ungkapan manunggaling
kawula lan Gusti, atau menyatunya jagad
cilik (manusia) dengan jagad Gede /
Sugeng (Tuhan)
2) Mati merupakan suatu kehendak yang sejati; dan
mayat dianggap sebagai sesuatu yang suci apabila sudah disesuci (dimandikan)[14]
Orang Jawa memandang kematian bukan sebagai peralihan status baru bagi
orang yang mati. Mereka (orang yang mati) diangkat lebih tinggi dibandingkan
dengan orang-orang yang masih hidup. Segala status yang disandang semasa hidup
ditelanjangi, digantikan dengan citra kehidupan yang luhur. Pada batu nisan
selalu diterakan kata kyai dan nyai. Sebuah kata yang mengacu pada
pengertian ‘lebih’ dari pada yang bukan kyai
atau nyai. Sebutan ini dikenakan
kepada semua orang yang telah mati, tidak memandang usia si mati, juga tidak
memandang kedudukan atau status sosial yang pernah disandang semasa hidup di
dunia.[15]
Kematian dalam kejawen (kemungkinan besar juga dalam kebudayaan lain)
hampir selalu disikapi bukan sesuatu yang selesai. Kematian selalu meninggalkan
ritualisasi yang diselenggarakan oleh yang ditinggal mati. Setelah orang mati,
maka ada penguburan yang disertai doa-doa, sesajian, selamatan, pembagian
waris, pelunasan hutang, dan seterusnya.[16] Oleh karena penyebab kematian, maka
pengertian mati juga diberi istilah yang berbeda-beda. Ada mati wajar, mati
sial, mati konyol, dan sebagainya. Masing-masing pengertian mati tersebut
selalu berkaitan erat dengan konstruksi sosial dari masyarakat yang
melingkupinya.
Dalam hubungannya dengan kematian, paham tentang roh dan jasad sangat
populer dalam kehidupan orang Jawa. Roh dan jasad sering dipahami sebagai isi
dan wadah. Dua hal ini tak mungkin dapat berdiri sendiri, karenanya saling
melengkapi satu sama lain. Keberadaan roh(isi) sulit dikenali; dia berada di
sekujur tubuh manusia; roh tak jelas posisinya, apakah di kepala, darah, perut,
leher, dan seterusnya – tak jelas. Roh ada dalam ketiadaan. Jadi, roh adalah
yang menghidupkan jasad. Tanpa roh, jasad dinyatakan pasif, tak hidup dan tak
berungsi apa-apa; namun begitu juga sebaliknya, tanpa jasad, roh pun tak dapat
bersemayam.[17]
BAB IV
ANALISA
Tradisi budaya yang berada dalam kehidupan masyaraat dapat dipahami
sebagai penerapan salah satu dari sekian model Teologi Kontekstual, yaitu model
antropologis (model yang berpusat pada nilai dan kebaikan anthropos) yang dikemukakan oleh Bevans dalam bukunya yang berjudul
Model-Model Teologi Kontekstual.[18] Di dalam buku tersebut dijelaskan bahwa
teologi dengan jalan memperhatikan dan mendengarkan segala situasi yang ada di
sekitar kita, dalam hal ini juga termasuk budaya, sehingga kehadiran Allah yang
tersembunyi itu dapat dinyatakan dalam situasi yang seringkali terjadi secara
tak tersangka-sangkakan. Lebih jelas lagi, penjelasan yang diutarakan oleh
Niebuhr dalam buku yang berjudul “Kristus dan Kebudayaan”(Terjemahan dari buku
aslinya: Christ and Culture), yang
mana menjelaskan bahwa kedatangan Kristus ke dunia bukan untuk menghapus budaya
yang telah ada, namun untuk menggenapinya. Kebaikan-kebaikan manusia atau
budaya yang sudah ada hanya perlu disempurnakan dengan memberi pemahaman baru
yang memenuhi kehendak Sang Pencipta.[19]
Geertz
memulai esainya dengan ketertarikannya pada “dimensi kebudayaan” agama.
Kebudayaan digambarkan sebagai sebuah pola makna-makna (pattern of meaning)
atau ide-ide yang termuat dalam simbol-simbol yang dengannya masyarakat
menjalani pengetahuan mereka tentang kehidupan dan mengekspresikan kesadaran
mereka melalui simbol-simbol itu.
Geertz menjelaskan tentang definisi agama kedalam lima kalimat,
yang masing-masing saling mempunyai keterkaitan. Definisi agama menurut
Geertz :
Agama
sebagai sebuah system budaya berawal dari sebuah kalimat tunggal yang
mendefinisikan agama sebagai: 1) Sebuah sistem simbol yang bertujuan; 2) Membangun
suasana hati dan motivasi yang kuat, mudah menyebar dan tidak mudah hilang
dalam diri seseorang dengan cara; 3) Merumuskan tatanan konsepsi kehidupan yang
umum; 4) Melekatkan konsepsi tersebut pada pancaran yang factual; 5) Yang pada
akhirnya konsepsi tersebut akan terlihat sebagai suatu realitas yang unik.
Definisi
diatas cukup menjelaskan secara runtut keseluruhan keterlibatan antara agama
dan budaya. Pertama, sistem simbol adalah segala sesuatu yang membawa
dan menyampaikan ide kepada seseorang. Ide dan simbol tersebut bersifat publik,
dalam arti bahwa meskipun masuk dalam pikiran pribadi individu, namun dapat
dipegang terlepas dari otak individu yang memikirkan simbol tersebut. Kedua,
agama-dengan adanya simbol tadi bisa menyebabkan seseorang marasakan,
melakukan atau termotivasi untuk tujuan-tujuan tertentu. Dalam hal ini, bila
dihubungkan dengan tradisi Brobosan yang dilaksanakan orang Jawa yang merupakan
bagian dari ritual selamatan, tradisi
ini tetapa dilaksanakan hingga saat ini adalah karena masyarakat Jawa
termotivasi untuk memperoleh keselamatan.
Orang yang
termotivasi tersebut akan dibimbing oleh seperangkat nilai yang penting, baik dan
buruk maupun benar dan salah bagi dirinya. Ketiga, agama bisa membentuk
konsep-konsep tentang tatanan seluruh eksistensi. Dalam hal ini agama terpusat
pada makna final (ultimate meaning), suatu tujuan pasti bagi dunia. Keempat,
konsepsi–konsepsi dan motivasi tersebut membentuk pancaran faktual yang
oleh Geertz diringkas menjadi dua, yaitu agama sebagai “etos”dan agama sebagai
“pandangan hidup”. Kelima, pancaran faktual tersebut akan memunculkan
ritual unik yang memiliki posisi istimewa dalam tatanan tersebut, yang oleh
manusia dianggap lebih penting dari apapun.
Upacara pelaksanaan brobosan adalah salah satu cara orang Jawa untuk
memberikan penghormatan kepada orang tua yang pergi meninggalkan dunia ini,
dengan motivasi agar keluarga yang ditinggalkan memperoleh keselamatan ketika
menjalani kehidupan. Makna dari mengikhlaskan kepergian orang tua tentunya
terjadi semata-mata oleh karena keluarga yang ditinggal meyakini bahwa orang
tua yang baru saja meninggal, tidak lain adalah karena mereka akan menjalani
hidup yang lain setelah itu, dalam kekristenan tentunya dipahami sebagai suatu
proses perjalanan menuju ke Rumah Bapa yang Kekal dan berjumpa denganNya untuk
selamanya. Inilah letak kesamaannya apabila dihubungkan dengan pemahaman orang
Jawa pada umumnya, yaitu proses bersatunya manusia dengan Tuhan, atau yang
dikenal dalam bahasa Jawa, yaitu manunggaling
kawula lan Gusti.[20] Dengan bentuk pemahaman yang demikianlah,
sehingga orang Jawa yang beragama Kristen mampu untuk mengikhlaskan kepergian
orang-orang yang sangat berarti dan memiliki peran penting dalam kehidupan
mereka itu.[21]
Penghormatan, keikhlasan dalam hal pelepasan yang nampak pada praktek
brobosan merupakan suatu perwujudan iman dan kasih yang dijalani oleh orang
Jawa, khususnya yang beragama Kristen; hal itu justru memiliki pengaruh yang
sangat besar bagi mereka yang masih hidup di dunia ini. Penyusun melihat,
tradisi brobosan yang diperbolehkan dalam kehidupan jemaat merupakan suatu cara
dari gereja untuk menggabungkan kedua unsur dalam kehidupan, yaitu antara iman
dengan kebudayaan, kemungkinan hal itu disebabkan oleh karena orang Jawa pada umumnya memiliki
prinsip yang sangat kuat dalam mempertahankan identitas mereka sebagai orang
Jawa, yang tidak lain yaitu dengan jalan mempertahankan tradisi-tradisi Kebudayaan
Jawa.[22]
Setelah pelaksanaan upacara Brobosan, biasanya orang Jawa akan
melaksanakan tradisi slametan yang
dilaksanakan secara turun temurun. Slametan
adalah sebuah proses mistik yang mana merupakan tahap awal dari proses
pencarian keselamatan (slamet) yang kemudian diikuti diikuti oleh mayoritas
orang Jawa dalam menuju ujung pengembaraan hidup ini, yakni menuju tahap paling
akhir kesatuan kepada Tuhan. Acara slametan
berikutnya disaat adanya kematian biasanya meliputi:
1. Slametan 3
hari
2. Slametan 7
hari
3. Slametan 40
hari
4. Slametan 100
hari dst,
Dalam hal ini juga status iman Kristen adalah sebagai suatu kekuatan
bagi anak-anak dan setiap keluarga yang ditinggal atau bagi mereka yang
melakukan brobosan, karena dengan iman, maka seseorang dapat meyakini bahwa
kepergian orang tua mereka adalah menuju ke Rumah Bapa yang Kekal, atau tidak
lain yang oleh orang Jawa lebih dipahami sebagai suatu proses manunggaling kawula lan Gusti. Dengan
meyakini bahwa Allah telah menyediakan kehidupan abadi di Rumah Bapa yang kekal
setelah kematian, maka brobosan yang dimaknai sebagai proses manunggaling kawula lan Gusti akan mampu
untuk dilaksanakan oleh keluarga yang baru saja ditinggal; yaitu merelakan
orang tua untuk melanjutkan perjalanan ke kehidupan yang lebih baik
BAB
V
REFLEKSI TEOLOGIS
TERHADAP PELAKSANAAN BROBOSAN
Tidak dapat dipungkiri, bahwa tradisi ritual brobosan masih tetap ada
dan dilaksanakan oleh orang Jawa pada umumnya sampai sekarang. Tradisi yang
berupa ritual tersebut tetap berlangsung turun-temurun; bahkan orang Jawa yang
telah bertahun-tahun memeluk suatu agama besar, dalam hal ini yaitu agama
Kristen pun masih melaksanakan ritual brobosan, apabila dalam keluarga terjadi
kedukaan atas meninggalnya orang tua mereka. Selanjutnya, yang menjadi
pertanyaan di benak kelompok “apakah orang Jawa yang sudah beragama Kristen diperbolehkan untuk
menjalankan ritual-ritual kejawaan mereka, disamping itu bersamaan dengan
penerapan nilai-nilai kekristenan yang telah dianut?” Hal inilah yang justru
membuat kelompok tertarik untuk melihat pada salah satu bentuk tradisi ritual budaya
Jawa tersebut. “Apakah Gereja memperbolehkan segala bentuk praktek kebudayaan
dalam kehidupan jemaat itu sendiri, ataukah memang sebagian dari orang jawa
yang pada dasarnya tidak saleh sepenuhnya kepada agama yang telah dianutnya?[23]
Brobosan dilaksanakan oleh orang Jawa yang beragama Kristen, dengan
dasar pemahaman bahwa hal itu merupakan suatu penghormatan terakhir serta
bentuk keikhlasan terhadap meninggalnya orang-orang yang dikasihi yaitu orang
tua, dapat dimaknai sebagai salah satu penerapan hukum yang ke lima dalam Hukum
Taurat yaitu “Hormatilah ayahmu dan ibumu, supaya lanjut umurmu di tanah yang
diberikan TUHAN, Allahmu, kepadamu” (Kel 20: 12). Apabila dipandang dengan
menggunakan kacamata iman Kristen, maka brobosan dapat dipahami sebagai salah
satu cara orang Jawa yang beragama Kristen untuk menjalankan perintah agama
yang telah diberikan Tuhan melalui para nabi dan pengikut-pengikut Kristus yang
pertama, yaitu dengan menerapkan hal tersebut ke dalam kehidupan keluarga.
Di dalam pelaksanaan brobosan terkandung makna serta nilai-nilai
kristiani yang sangat jelas; dikatakan demikian apabila hal tersebut dipahami
sama seperti penjelasan sebelumnya di atas. Orang tua merupakan anugerah dan
juga sebagai pelindung bagi anak-anak yang telah disiapkan Tuhan di dunia ini
sejak manusia masih dalam kandungan ibunya, maka dari itu sudah sepantasnya
orang tua memperoleh penghormatan yang tinggi dari anak-anaknya, bahkan hal itu
tetap berlaku di saat mereka harus pergi untuk meninggalkan dunia ini. Bukan
saja dalam budaya Jawa ataupun budaya lainnya di dunia ini pada umumnya, namun
hal-hal yang berhubungan dengan penghormatan serta kasih terhadap orang tua
juga merupakan salah satu bagian yang utama dalam ajaran Kekristenan.
Demikian kiranya kita dapat mengambil sisi baik dari sebuah budaya dan
tradisi Jawa. Yang menjadi tugas kita adalah melestarikannya untuk menjaga
hubungan keselarasan kita dengan alam. Intinya tujuan dari ritual kematian yang
ada di Indonesia secara umum dan secara khusus ritual Brobosan adalah untuk
mengenang kepergian orang tersebut hingga mampu mengantarkannya pada
peristirahatannya yang terakhir.
[1] Semuel Patty, Agama dan Kebudayaan
(Bahan Kuliah: Agama dan Kebudayaan, 2007),44.
[2] Budiono Herusatoto, Simbolisme dalam
Budaya Jawa (Yogyakarta: Penerbit PT. Hanindita,1984), 1.
[3] http://treest.wordpress.com/2009/03/04/upacara-khas-suku-jawa/ diunduh pada Kamis, pukul 16.00 WIB
[4]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 30
[5]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 30
[6]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 30
[7]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 30
[8]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 31
[9]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 31
[10]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 64
[11]
http://id.wikipedia.org /wiki/kematian
[12]
Suwardi Endraswara, Falsafah Hidup Jawa,(Yogyakarta : Penerbit Cakrawala, 2006), 59-60. Untuk
selanjutnya dikutip : Endraswara, Falsafah,
(hal)
[13]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 31
[14]
Karena telah suci, maka aturannya, manusia yang masih hidup tidak diperbolehkan
lagi untuk bersentuhan dengan mayat yang suci itu.
[15]
http://www.tembi.org/tembi/mati.htm
[16]
Widyatmanta, Sikap Gereja, 102-109
[17]
Endraswara, Falsafah, 234-235
[18]
Stephen Bevans, Model-Model Teologi
Kontekstual (Maumere: Penerbit Ledalero, 2002), 97-98
[19]
Richard Niebuhr, Kristus dan Kebudayaan
(Jakarta Pusat: Petra Jaya), 140
[20]
Siman Widyatmanta, Sikap Gereja Terhadap
Budaya dan Adat Istiadat (Yogyakarta :
Badan Musyawarah Gereja-Gereja Jawa, 2007), 31
[21]
simbol-simbol keikhlasan yang dilakukan oleh orang Jawa pada saat dihadapkan
dengan kematian, ialah : tidak boleh menangisi jenasah secara berlebihan,
apalagi sampai mengena tubuh jenasah ataupun tanah makam tempat jenasah
disemayamkan.
[22]
Ada semacam
usaha untuk mempertahankan praktek-praktek tradisi budaya Jawa; tidak menjadi
masalah apabila maknanya akan berubah atau tidak di kemudian harinya.
[23] Marbangun Hardjowirogo, Manusia Jawa (Jakarta: Inti Dayu Press,
1984), 17.
Post a Comment for "Agama dan Kebudayaan"