Etika Sosial
ETIKA DISKURSUSJURGEN HABERMAS
1.
Biografi
Jurgen Habermas
Jürgen Habermas merupakan seorang
filsuf dan teoritisi sosial yang paling
berpengaruh pada saat ini. Ia dilahirkan di kota Dusseldorf, Jerman pada
tanggal 18 Juni 1929. Seorang anak dari keluarga kelas menengah yang agak
tradisonal. Sang Ayah pernah menjabat sebagai direktur Kamar Dagang di kota
kelahirannya.[1]
Pengalaman pahitnya sewaktu masih remaja yang ditandai dengan dua peristiwa
besar yaitu Perang Dunia (PD) ke II dan pengalaman hidupnya di bawah rezim
nasionalis-sosialis Adolf Hitler, turut andil dalam membentuk konstruksi
pemikirannya dikemudian hari.
Pendidikan tingginya berawal dari
sebuah univesitas di kota Gottingen. Di Gottingen Jurgen Habermas belajar
kesusasteraan Jerman, sejarah dan filsasat. Ia juga mempelajari bidang-bidang
lain seperti, psikologi, dan ekonomi. Selang beberapa tahun setelah ia pindah
ke Zurich, Jürgen Habermas kemudian melanjutkan studi filsafatnya di
Universitas Bonn di mana ia memperoleh gelar doktor dalam bidang filsafat
setelah ia mempertahankan desertasinya yang berjudul “das Absolut und die
Geschichte” (yang Absolut dan Sejarah), suatustudi tentang pemikiran Friedrich
Schelling.[2]
Pada usianya yang ke 25 tahun,
Jürgen Habermas bergabung dengan Institut für Sozialforschung (Institut
Penelitian Sosial) di Frankfurt yang biasa disebut dengan Mazhab Frankfurt dan
Jürgen Habermas terlibat aktif dalam mempopulerkan megaproyek teori kritis[3]
(kritische theorie). Dua tahun berikutnya, tepatnya pada tahun 1956, ia telah
dipercaya sebagai asisten dari Theodor Wiesengrund Adorno. Peristiwa ini
merupakan sebuah pertualangan yang mengharu-biru, karena di lembaga inilah
Jürgen Habermas menemukan identitas intelektualnya. Kemudian tahun 1962 ia
menjadi profesor di Heidelberg dan dua tahun kemudian diangkat sebagai
pengganti Adorno menjadi profesor untuk filsafat dan sosiologi di Frankfurt.
Pada tahun 1970-an ia menarik diri dari dunia universitas, tetapi tahun 1982
kembali ke universitas Frankfurt. Sejak tahun 1994 ia dipensiun.[4]
2.
Konteks
Pemikiran Etika Diskursus
Etika diskursus merupakan sebuah
upaya dari Habermas untuk menerjemahkan teori tindakan komunikatif guna menjaga
dan menjamin pada terciptanya stabilitas sosial dalam masyarakat yang plural.
Dengan kata lain adalah, realitas masyarakat yang plural tidak lagi bisa
mengacu kepada suatu klaim nilai atau norma moral tertentu. Etika diskursus
lebih ditekankan sebagai sebuah proses legitimasi politik ketimbang sebagai
validasi moral. Dalam hal ini Habermas menekankan akan pentingnya sebuah
konsensus bukan sebagai persetujuan yang berdasarkan pada keseimbangan kekuatan
atau semacam kompromi agar sama-sama senang, melainkan persetujuan yang
validitasnya semata-mata didasarkan atas argumen yang terbaik.
Etika diskursus hanya dapat
dimengerti dalam kerangka keprihatinan dasar Habermas ini. Menurut Habermas
moralitas manusia modern tidak luput dari tuntutan yang khas bagi modernitas:
keyakinan-keyakinan moral harus dilegitimasikan secara rasional. Pendasaran
pada pandangan dunia dan agama-agama tradisional tidak mencukupi lagi dalam
budaya pasca-tradisional. Hanya norma-norma yang dapat diperlihatkan berlaku
universal berhak menuntut ketaatan.
Filsof yang merumuskan tuntutan itu
adalah Imanuel Kant (1724-1804). Kant memperlihatkan bahwa hanyalah norma-norma
yang dapat diuniversalisaikan, jadi yang dapat dikehendaki agar berlaku umum,
berstatus sebagai norma moral. Habermas bertolak dari “imperatif kategoris”
Immanuel Kant itu. Tetapi ia tidak menyetujui cara bagaimana Kant memastikan
keberlakuan universal norma-norma moral. Menurut Habermas tidak cukup kalau
setiaap orang sendirian memeriksa apakah ia dapat menhendaki keberlakukan
universal sebuah norma. Hebermas mengkritik cara ini sebagai monologis. Apakah
sebuah norma berlaku secara universal tidak tergantung dari kesadaran
individual masing-masing, melainkan dari apa yang dapat disepakati bersama. Dan
untuk memastikan kesepakatan itu hanya ada satu cara yang wajar: Kesepakatan
itu harus tercapai dalam sebuah pembicaraan bersama yang terbuka bagi semua
yang bersangkutan dan bebas dari paksaan. Pembicaraan untuk memastikan bersama
sesuatu yang dipermasalahkan disebut Diskursus. Dalam diskursus semua merasa bersangkutan
boleh ikut, semua boleh mengajukan gagasan, harapan dan argumen-argumen mereka.
Itulah gagasan inti etika diskursus Jurgen Habermas.[5]
3.
Tujuan
Dalam
bukunya yang paling akhir (After Virtue,
London 1982) A. Maclntyne memaparkan pernyataan bahwa rencana pencerahan
untuk menciptakan sebuah moralitas yang tidak tergantung dari
kepercayaan-kepercayaan metafisika dan agama telah gagal.
Disini
ia menerima sebagai hasil pencerahan yang tak terobohkan apa yang pernah
dipastikan oleh Horkheimer dengan maksud kritis bahwa akal budi instrumental
yang terbatas pada rasionalitas sasaran harus menyerahkan penetapan sasaran
sendiri kepada kekuasaan dan keputusan buta. Anggapan ini sejak Kant
disangkal oleh etika kognitivistik yang dalam salah satu arti berpegang terus
pada anggapan bahwa masalah-masalah praktis {etis} dapat benar masalah.
Dalam
deretan tradisi Kant ini sekarang terdapat {pelbagai} pendekatan teoritis
seperti pendekatan Kurt Baier, Mar- George Singer, John Rawls, Paul Lorenzen,
Ernst Tugendhat Karl-Otto Apel; mereka bertemu dalam maksud untuk menganalisa
syarat-syarat agar pertanyaan-pertanyaan praktis dapat dinilai secara tidak
berpihak, semata-mata berdasarkan argumen-argumen.
4.
Prinsip
Penguniversalisasian sebagai prinsip jembatan
Dalam
diskursus teoritis celah antara masing-masing pengamatan dan hipotesa umum
dijembatani menurut pelbagai pola induksi. Dalam diskursus praktis diperlukan
prinsip jembatan yang cocok. Oleh karena itu semua penelitian tentang logika
argumentasi moral merasa perlu memasukkan sebuah prinsip moral yang sebagai
peraturan argumentasi memainkan peranan sama seperti prinsip induksi dalam
diskursus ilmu-ilmu empiris. Adalah menarik bahwa pengarang-pengarang dengan
latarbelakang berbeda, apabila mereka mencoba merumuskan prinsip itu, selalu
sampai pada patokan-patokan yang berdasarkan gagasan sama. Semua etika kognitif
bertolak dari intuisi yang diungkapkan Kant dalam imperatif kategoris. Prinsip moral
dirumuskan sedemikian rupa sehingga norma-norma yang tidak memperoleh
persetujuan sungguh-sungguh semua pihak yang dapat merasakan dampaknya
disingkirkan sebagai tidak absah. Jadi prinsip jembatan yang memungkinkan
konsensus harus menjamin bahwa hanya norma-norma yang mengungkapkan kehendak
umum dapat diterima sebagai absah; norma-norma itu harus, sebagaimana
dirumuskan berulang-ulang oleh Kant, cocok menjadi “undang-undang umum”.
Imperatif kategoris dimengerti sebagai prinsip yang menuntut agar cara-cara
bertindak dan pertimbangan-pertimbangan, atau kepentingan-kepentingan yang mereka
perhatikan, dapat diberlakukan secara umum. Kant ingin menyingkirkan semua
norma yang tidak sesuai dengan tuntutan itu. Ia melihat kontradiksi internal
yang muncul dalam pertimbangan pelaku apabila kelakuannya hanya dapat mencapai
tujuan apabila tidak bersifat umum.
5.
Universalisasi
harus disepakati oleh semua yang bersangkutan
Menurut prinsip penguniversalisasian, sebuah norma
dikatakan sah ketika diakui oleh semua yang terlibat. Namun, oleh Magnis Suseno
menganggap bahwa tidak cukup apabila orang per orang memeriksa norma-norma itu
sebelum menjadi universal seperti yang dikatakan oleh Imperatif kategoris Kant. Untuk itu ada 2 kasus yang
disajikan oleh Magnis,
yaitu:
1. Apakah
mereka (sendiri/pribadi) dapat menghendaki keberlakuan sah sebuah norma yang
dipersoalkan dari sudut akibat dan efek samping yang akan terjadi andaikata
semua mengikutinya.
2. Apakah
setiap orang yang berada dalam situasi tertentu mereka dapat menghendaki agar
norma itu diberlakukan.
Dari kedua kasus ini pembentukan penilaian akan
tergantung dari posisi dan perspektif beberapa pihak yang bersangkutan dan
bukan dari posisi dan perspektif semua orang. Dengan demikian, menurut Magnis sebuah titik tolak dianggap tidak
berpihak apabila menjamin bahwa norma-norma yang dapat diuniversalisasikan
hanyalah norma-norma yang diharapkan akan disetujui umum karena sesuai dengan
kepentingan bersama semua pihak yang bersangkutan, sehingga pandangan ini
diberi pengakuan intersubjektif yaitu sesuatu yang timbul dari
pengalaman-pengalaman individu karena adanya relevansi dengan yang lain. Maka
pembentuka penilaian tidak berpihak terungkap dalam sebuah prinsip yang memaksa
siapa pun dalam lingkungan yang bersangkutan untuk mempertimbangkan
kepentingan-kepentingan masing-masing dan mengambil alih perspektif semua
peserta yang lain. Magnis menambahkan bahwa prinsip penguniversalisasian harus
memaksakan pertukaran peran yang dijelaskan oleh G. H. Mead yaitu hubungan pertukaran dengan orang lain karena dari padanya
kita memperoleh imbalan. Maka, setiap norma yang mau dianggap sah ditaati
secara umum harus memenuhi syarat bahwa akibat-akibat dan efek samping akan
mempengaruhi pemuasan kepentingan siapa pun yang bersangkutan.
6.
Kesepakatan harus dicapai dalam diskursus.
Apabila dalam sebuah diskursus para pesertanya masuk
dalam argumentasi moral, maka mereka melanjutkan tindakan komunikatif mereka
dengan sikap refleksif dengan tujuan untuk memulihkan suatu kesepakatan yang
terganggu. Maka argumentasi moral dipergunakan untuk menyelesaikan suatu
konflik tindakan secara sepakat. Konflik yang terjadi dalam bidang interaksi
yang diatur oleh norma-norma langsung dapat dikembalikan pada kesepakatan
normatif yang terganggu dengan menjamin pengakuan intersubjektif. Maka,
kesepakatan semacam itu merupakan ungkapan sebuah kehendak bersama. Akan tetapi
apabila argumentasi moral mau menghasilkan kesepakatan semacam itu tidaklah
cukup bahwa seseorang secara individu mempertimbangkan apakah ia dapat
menyetujui sebuah norma. Bahkan tidak cukup bahwa semua individu mengadakan
pertimbangan itu, lalu mencatatkan suara mereka. Melainkan yang diperlukan
adalah argumentasi nyata di mana mereka yang bersangkutan ikut secara
kooperatif. Hanya sebuah proses pertimbangan intersubjektif dapat menghasilkan
kesepakatan yang bersifat refleksif, dengan begitu para peserta dapat tahu
bahwa mereka bersama-sama yakin tentang norma itu.
Dengan demikian rumusan imperatif
kategoris harus diubah dan diusulkan seperti berikut: “Daripada menetapkan
sebagai
yang absah bagi semua orang lain sebuah patokan yang saya
kehendaki agar menjadi hukum umum, saya harus menawarkan patokan saya kepada
semua peserta lain dengan tujuan agar diperiksa secara diskursif. Beban pindah
dari apa yang oleh masing-masing sendirian dapat dikehendaki menjadi hukum umum tanpa kontradiksi kepada sesuatu yang
disepakati mau diakui oleh semua sebagai norma universal.”
7.
Pembuktian
Prinsip Penguniversalisasian
Dalam
pembuktian ini ini peranan dimainkan oleh argumen pragmatis-transendental. Melalui argumen yang disebut
“pragmatis-transendental” ini, Habermas mengkaji praanggapan-pranggapan yang
terdapat dalam pembicaraan-pembicaraan normal, dan dengan melalui ini
diharapkan dapat ditemukan kebutuhan-kebutuhan pragmatis yang mendasari semua
diskursus. Metode Habermas dikatakan pragmatis dalam arti bahwa metode tersebut
diarahkan pada penemuan kriteria universal. Habermas berharap untuk menjabarkan
suatu prinsip universal atas dasar kebutuhan-kebutuhan sehari-hari. Peranan
ini sekarang dapat digambarkan sebagai berikut : Dengan bantuan argumen
pragmatis-transendental akan diperlihatkan bagaimana prinsip
penguniversalisasian yang berfungsi sebagai peraturan argumetasi sudah
terimplikasi oleh pengandaian-pengandaian argumentasi pada umumnya.
Tiga
dataran pengandaian argumentasi : Pengandaian-pengandaian di dataran logis
produk-produk, di dataran dialektis prosedur-prosedur dan di dataran retorik
proses-proses. Menurut Habermas yang menentukan
bagi pembuktian prinsip penguniversalisasian adalah peraturan dirkusus
di dataran ketiga, yang retorik.
Wacana
argumentatif akhirnya memperlihatkan diri sebagai peristiwa komunikatif yang
mempunyai tujuan untuk mencapai kesepakatan yang bermotivasi rasional dan karena
itu harus memenuhi syarat-syarat yang tidak probabel. Para partisipan sebuah
argumentasi tidak dapat menghindar dari pengandaian bahwa struktur komunikasi
mereka berdasarkan cirri-ciri yang dideskripsikan secara formal, menyingkirkan
setiap paksaan dari luar yang mau mempengaruhi proses komunikasi kecuali
argumen yang lebih baik.
Peraturan-peraturan diskursus sebagai
berikut :
1. Setiap
subjek yang mampu untuk berbicara dan bertindak boleh ikut dalam
diskursus-diskursus. Peraturan yang pertama ini menetapkan lingkungan para
peserta potensial dalam arti bahwa tanpa kecuali semua subjek boleh masuk yang
mempunyai kemampuan untuk ikut dalam argumentasi
2. a. Setiap peserta boleh mempersoalkan
setiap pernyataan
b. setiap peserta boleh memasukkan setiap
pernyataan ke dalam diskursus
c. Setiap peserta boleh mengungkapkan
sikap-sikap keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhannya.
Peraturan
ini menjamin kesempatan sama bagi semua peserta untuk menyumbangkan sesuatu
dalam argumentasi dan untuk mengajukan argumentasi mereka sendiri.
3. Tak
ada peserta yang boleh dicegah dengan
paksaan di dalam atau di luar diskursus dari menjalankan hak-haknya yang telah
ditetapkan melalui peraturan (1) dan (2) di atas. Peraturan ini menetapkan
syarat-syarat komunikasi yang menjamin bahwa baik hak akses universal pada
diskurusus, maupun hak untuk ikut serta di dalamnya dengan kesepakatan yang
sama dapat dinikmati tanpa adanya represi betapa pun halus dan tersembunyinya
(dank arena itu hak itu dapat dinikamti secara sama rata).
Peraturan-peraturan
itu bukan sekedar kovensi (kesepakatan) saja, melainkan merupakan
pengandaian-pengandaian (komukasi diskursif) yang tak terelakkan, jadi kalau
orang mau berkomunikasi, ia harus dan secara “otomatis” akan mengikuti
peraturan diskursus itu. Habermas memperlihatkan bahwa peraturan diskursus tiu
memang bukan peraturan yang sekedar kita sepakati demi kelancaran diskursus,
melainkan kalau orang mau melibatkan diri dalam proses argumentasi ia mau tak
mau mengakui dan melaksanakan peraturan diskursus itu, dan kalau tidak ,
diskursus tidak jadi. Habermas juga mengatakan bahwa tidak semua diskursus
sesuai dengan peraturan-peraturan ini, alasannya : dalam kenyataan diskursus jarang
murni bersifat diskursus (yang semata-mata mencari kebenaran), melainkan juga
dipengaruhi oleh pelbagai keterbatasan luar-batin peserta (harapan,
kekhawatiran, emosi, kepentingan mereka, dan sebagainya). Akan tetapi sejauh
suatu pembicaraan merupakan diskursus, peraturan diskursus mesti terlaksana.
Apabila
siapa saja yang memasuki sebuah argumentasi harus antara lain menerima
pengandaian-pengandaiaan yang dapat dirumuskan dalam bentuk peraturan diskursus
(1) samapai dengan (3), dan kita juga tahu apa artinya memperbincangkan secara
hipotetik apakah ada norma-norma
tindakan yang harus diberlakukan, maka siapa saja yang sungguh-sungguh mencoba
untuk membenarkan secara diskurtif klaim-klaim keberlakuan normative, secara
intuitif menerima syarat-syarat procedural yang merupakan pengakuan implisit
atas keberlakuan “U”. Dari
peraturan-peraturan diskursus tersebut dapat disimpulakan bahwa sebuah norma yang dipersoalkan hanya dapat
disetujui oleh para peserta sebuah diskursus praktis apabila “U” berlaku,
artinya : apabila akibat-akibat dan efek-efek sampingan yang dapat diperkirakan
akan mempengaruhi pemuasan kepentingan siapapun juga apabila norma yang
dipersoalkan itu ditaati secara umum, dapat disetujui tanpa paksaan oleh semua.
Namum
apabila telah diperlihatkan bagaimana prinsip penguniversalisasian dapat diberi
pendasaran melalui deduksi transcendental-pragmatis dari
pengandaian-pengandaian argumentasi, maka etika diskursus sendiri dapat
dituangkan secara hemat ke dalam prinsip “D” artinya: bahwa hanyalah
norma-norma yang disetujui oleh semua
yang bersangkutan sebagai peserta diskurusus praktis boleh dianggap sah.
8.
Etika
Diskursus dan dunia kehidupan
Pernah
ada seseorang yang mengajukan keberatanya atas etika diskusrus, orang itu
adalah A Wellmer. Bagi dirinya etika formal dan prosedural semacam itu kurang
relevan. Sebab dalam praktek kita mengacu pada nilai-nilai dan norma-norma
dalam lingkungan social kita, entah itu benar atau salah dalam sebuah
diskursus.
Tanggapan
Habermas terhadap keberatan Wellmer ialah melalui penegasan kembali tentang apa
itu etika diskursus. Etika diskursus memang formal tetapi dia bukan pembentuk norma. Diskursus
merupakan metode untuk memeriksa keabsahan norma yang diajukan dan
dipertimbangkan secara hipotesis. Diskursus terjadi dengan memperhatikan
konteks kehidupan tertentu dan hidup dalam ketegangan dialektis antara para
peserta diskursus tentang masalah yang diajukan. Prosedur ini dapat dikatakan formal atau
berlaku umum sesuai aturan ataupun ketetapan. Tetapi bukan berarti keberlakuan
formal itu meniadakan pendekatan kepada kasus khusus. Justru etika diskursus
bergantung pada kasus untuk kemudian menilik keberlakuan norma dan nilai terhadap
masalah atau kasus itu.
Formalisme
etis sifatnya keras karena langsung membedakan yang baik, yang adil, evaluatif,
dan normatif. Bagi Habermas nilai-nila cultural yang meskipun dalam dianut
banyak orang belumlah menjadi sebuah keberlakuan normatif. Hal tersebut lebih
kepada cikal bakal nilai atau norma yang kemudian akan diajukan untuk mengatur
kepentingan umum.
Habermas
menambahkan bahwa peserta diskursus hanya dapat mengkaji nilai dan norma yang
terkait dengan seluruh kehidupan sosial mereka. Dasar yang digunakan adalah
identitas khas kelompok itu yang telah membentuk mereka. Hal itu yang menjadi
pijakan mereka. Ini penting sebab etika diskursus merupakan bagian dari etika
deontologist. Pertimbangan yang diajukan selalu diukur secara rasional dengan
syarat ada kesepakatan. Perlu juga untuk dipahami bahwa etika deontologis bukan
mengenai prefensi nilai-nilai tetapi mengenai keberlakuan keharusan norma-norma
tindakan. Ukuranya ialah aturan atau norma itu sendiri.
9.
Etika
Diskursus dengan Masyarakat Pasca-Tradisional
Bagi
Habermas, kehidupan bersama di dalam sebuah masyarakat dapat membentuk suatu
tatanan sosial jika para anggota masyarakat mematuhi norma-norma tertentu yang
mengatur prilaku mereka. Kepercayaan akan pandangan dunia tradisional dan sikap
menerima begitu saja pendasaran-pendasaran konvensional atas norma-norma dalam
taraf tertentu dapat mereproduksi dan menstabilkan tatanan sosial. Namun di
dalam masyarakat pasca-tradisional
orang tidak dapat menerima begitu saja norma-norma yang mengatur prilaku
mereka. Orang-orang sudah mempertanyakan keabsahan norma-norma itu. Masyarakat pasca-tradisional sudah terkena proses
rasionalisasi. Jika sistem-sistem kepastian tradisional
mengalami krisis dan segalanya dapat dipersoalkan, menurut Habermas, orang
harus membuat norma-norma yang mengatur prilaku mereka menjadi rasional, tidak
hanya dengan memberinya alasan-alasan rasional, melainkan juga
melegitimasikannya secara intersubyektif. Dengan kata lain, orang harus
mencapai konsensus rasional atas norma-norma tersebut. Habermas memasukkan
moral juga ke dalam norma-norma prilaku yang harus diuji secara intersubyektif
itu. Proses untuk mencapai konsensus terlaksana di dalam apa yang disebut “diskursus
praktis“. Di dalam tipe diskursus ini para peserta mempersoalkan klaim
ketepatan dari norma-norma yang mengatur tindakan mereka.
Ciri khas
masyarakat pasca-tradisional adalah
diferensiasi dan rasinalisasi di semua bidang. Maka tradisi dan kepercayaan
lama semakin tidak kuat untuk menjadi acuan keyakinan moral.
Budaya masyarakat pasca-tradisional
merupakan budaya masyarakat yang menghargai pluralisme, cara
pandang, nilai, dan moralitas. Masyarakat pasca-tradisional bergerak ke arah semakin plural dan individual.
Persoalan etika (yang-baik) dan moral (yang-adil) menjadi semakin sulit
didefinisikan. Misalnya di Indonesia, apa yang baik menurut orang Jawa, belum
tentu baik pula menurut orang Papua. Bahkan, apa yang adil menurut saya belum
tentu demikian menurut anda. Etika diskursus berangkat dari kondisi masyarakat pasca-tradisional
dimana sandaran agama, tradisi dan budaya tidak lagi kuat dijadikan pegangan
untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Di dalam
etika diskursus orang berkomunikasi dengan berusaha mengambil sudut pandang
orang ‘yang lain’ (intersubjektif) dengan memenuhi kompetensi komunikatif yang
meliputi klaim tepat, benar, jujur dan komprehensif. Menurut Habermas moralitas
manusia modern tidak luput dari tuntutan yang khas bagi modernitas:
keyakinan-keyakinan moral harus dilegitimasikan secara rasional. Pendasaran
pada pandangan dunia dan agama-agama tradisional tidak mencukupi lagi dalam
budaya pasca-tradisional. Hanya norma-norma yang dapat diperlihatkan
berlaku universal berhak menuntut ketaatan.
Penggunaan psikologi sosial (Kohlberg) è tingkat kesadaran moral pasca-konvensional, dalam uraiannya
tentang etika diskursus merupakan hal yang penting karena menurut Habermas
kesadaran moral berkembang seiring kematangan perkembangan kognitif meskipun
untuk situasi tertentu perkembangan moral dan kognisi tidak sejalan. Secara
ontogenesis (sejarah
perkembangan individu organisme), manusia berkembang dalam kesadaran yang berorientasi pada diri sendiri menjadi
lebih matang dalam orientasi sosial yang menghargai hubungan dengan orang lain
hingga mencapai sebuah kesadaran otonom (reflektif) dalam bertindak moral. Perkembangan
kesadaran moral tersebut mewarnai tiga jenis dan tujuan komunikasi yang dibahas Habermas
secara terkait satu sama lain sebagai sebuah proses (belajar) komunikasi.
Di dalam cakrawala dunia kehidupan, penilaian-penilaian praktis
memperoleh bentuk konkret untuk memotivasi orang untuk bertindak dengan
paham-paham hidup baik yang keberlakuannya tidak dipersoalkan dengan moralitas
sosial yang dilembagakan. Menurut Habermas moralitas universalistik bersedia
menerima bahwa moralitas sosial konkret berkurang demi keuntungan kognisi,
tetapi kekurangan itu harus diimbangi agar moralitas dapat menjadi efektif.
Moralitas universalistik membutuhkan bentuk kehidupan yang sudah “terasionalisasi”
sendiri sehingga penerapan pengertian-pengertian moral umum secara bijaksana
menjadi mengkin dan mendukung motivasi melakukan tindakan moral. Prosedur etika
diskursus dapat digunakan untuk mempertahankan budaya masyarakat
pasca-tradisional karena dalam diskursus diusahakan dicapai kesepakatan dengan
mempertimbangkan perbedaan dalam kemauan, tabiat, perasaan, harapan, dan
pilihan-pilihan seseorang dengan orang lain.
10. Tanggapan
Kelompok
Pada dasarnya kelompok kami setuju dengan etika yang disampaikan
oleh Habermas. Karena menurut Habermas untuk mencapai konsensus atau kesepakatan
yang universal harus memperhatikan kasus-kasus khusus. Dengan memperhatikan
hal-hal khusus maka kesepakatan yang universal itu akan memenuhi kepentingan
semua orang yang berada dalam komunitas atau diskursus tersebut. Di dalam
diskursus setiap orang mempunyai kesempatan yang sama unttuk menyampaikan
argumentasi-argumentasi untuk mencapai suatu kesepakatan universal yang diakui
bersama-sama. Etika diskursus memang kelihatan formal, tetapi diskursus
bertujuan bukan untuk menciptakan sebuah nilai atau norma, melainkan digunakan
sebagai alat untuk memeriksa keabsahan sebuah nilai atau norma yang diajukan
atau dipetimbangkan.
Kelemahan dari etika ini adalah semua pelanggaran terhadap norma
moral yang berlaku diukur berdasarkan aturan-aturan yang telah disepakati
secara universal tanpa memperhatikan alasan yang melatarbelakangi seseorang
melakukan pelanggaran terhadap aturan moral yang telah disepakati secara
universal. Hal yang sangat berbeda bila dibandingan dengan etika situasi yang
dibuat oleh Fletcher.
[1] Franz Magnis Suseno, “75
Tahun Jürgen Habermas”, Basis, 11-12 (NovemberDesember, 2004), 4.
[2] K. Bertens, Filfasat
Barat Kontemporer Inggris-Jerman (Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama,
2002), 236.
[3] Menurut Franz Magnis
Suseno, filsafat kritis berdiri dalam tradisi pemikiran yang mengambil
inspirasi dari Karl Marx. Ciri khas dari filsafat kritis adalah selalu
berkaitan erat dengan kritik terhadap hubungan-hubungan sosial yang nyata.
Lihat: Listiyono Santoso dan I Ketut Wisarja, Epistemologi Kiri (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media,
2006),
219.
[5] Frans Magnis Suseno, Etika Abad Kedua Puluh, (Jogjakarta: Kanisius,
2008), 233-234.
Post a Comment for "Etika Sosial"