Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Paulus dan Kekristenan


PAULUS

Paulus adalah orang Ibrani asli dan pengikut aliran paling keras, yaitu dari golongan Farisi. Hal ini bukan hanya memberi dampak yang mendalam atasnya, tapi juga memberi kebanggaan yang besar karena. Waktu kelahiran Paulus kurang lebih sama dengan kelahiran Tuhan Yesus Kristus. Ia dilahirkan di Tarsus, sebuah kota yang terkemuka zaman itu di wilayah Kilikia. Tarsus terletak hanya 1,2 km dari Laut Tengah. Oleh karena itu, Tarsus menjadi kota pusat perdagangan. Di samping itu, Tarsus juga menjadi kota ilmu pengetahuan. Banyak orang pendatang yang belajar di sekolah-sekolah terkenal di Tarsus, dan kemudian tersebar ke seluruh bagian kekaisaran Roma. Di kota ini tinggal orang-orang Yunani dan orang- orang Timur, juga bangsa-bangsa yang lain.  Di kota Tarsus Paulus mendapat kesempatan belajar tentang cara hidup bangsa yang bukan Yahudi. Oleh karena itu, ketika waktunya tiba, dia dapat memperkenalkan Injil Kristus kepada bangsa-bangsa lain dengan cara yang sangat baik.[1]


1.      Pertobatan dan Panggilan
Riwayat Paulus dimulai manakala ia mengalami peristiwa pertobatan dalam perjalanannya ke Damsyik, tentang apa dan bagaimana dia sebelum peristiwa tersebut tidak pernah disebutkan. Peristiwa  ini tidak serta merta membuat Paulus terlibat langsung dalam kekristenan, dunia dimana ia menemukan jatidirinya sebagai seorang pengInjil, misionaris, teolog atau apapun sebutannya. Mengenai peristiwa pertobatannya, beberapa ahli telah mengajukan keberatan akan hal ini. Menurut mereka, penggunaan kata pertobatan berkaitan dengan peristiwa Damsyik merupakan sebuah kekeliruan. Ada 2 alasan yang dikemukakan mengenai hal ini; pertama, Paulus tidak pernah mengubah agamanya. Kata “pertobatan” yang dipahami konteks kini merujuk pada perubahan agama, sementara pada saat itu kekristenan tidak dianggap sebagai agama mainstream melainkan sebuah sekte. Alasan yang kedua ialah Paulus bukanlah pribadi yang yang rapuh, yang mana dipenuhi rasa bersalah atas dosa-dosanya ataupun sebagai orang yang berkonflik batin sehingga membutuhkan pertobatan.[2] Definisi pertobatan yang disematkan kepada Paulus pertama kali dicetuskan oleh Agustinus melalui bukunya Confessiones. Paham ini mengulas tentang mengintrospeksi diri secara mendalam yang disertai kerinduan untuk mencapai kepastian akan keselamatan. Oleh Marthin Luther, hal ini bukan hanya diperkuat, tapi juga diuniversalkan. Peristiwa pertobatan tidak lagi hanya terjadi ketika membaca Perjanjian Baru, melainkan sebagai sebuah pengalaman yang wajib bagi mereka yang menerima iman Kristen.
Membahasakan Paulus tidaklah relevan apabila dilihat hanya dari pertobatannya. Apa yang diacu dari pengalaman pertobatannya seringkali diserap oleh realitas yang lebih besar daripada panggilan kerasulannya, padahal yang dibicarakan olehnya adalah detail teologis mengenai pemanggilannya sebagai seorang rasul yang diutus bagi bangsa-bangsa non yahudi. Ia mengibaratkan pemanggilan dirinya, sebagaimana Yeremia dan Yesaya, yaitu berasal dari tindakan Allah yang menentukan dan menyampaikan padanya melalui penyataan dan penglihatan. Bosch berdasarkan temuan Gaventa lebih suka mengkategorikan yang terjadi pada Paulus sebagai sebuah transformasi, suatu perubahan perspektif radikal yang tidak menolak pengalaman masa lampaunya, tetapi terbuka akan wawasan Baru, sebagaimana juga yang terjadi pada petrus dan yohanes, yang notabene merupakan yahudi taat, harus mengalami sesuatu yang lain untuk menjadi umat Allah, yaitu iman kepada Kristus.[3]

2.      Paulus sebagai rasul yang misioner
Misi kristen mula-mula digambarkan melalui 3 corak: pertama, melalui para pengkhotbah keliling yang berpindah-pindah diseputaran daerah yahudi dan memberitakan tentang pemerintahan Allah yang akan datang. Kedua, orang-orang kristen yahudi yang melaksanakan misi kepada bangsa-bangsa non yahudi dan yang ketiga adalah misionaris yudais yang turun ke jemaat-jemaat kristen yang telah berdiri dan coba mengoreksi apa yang mereka sebut penafsiran Injil yang keliru. Paulus sendiri cenderung berpegang pada pola yang pertama dan kedua, dengan sedikit modifikasi[4]
Perjalanan yang dilakukan oleh Paulus bukanlah sesuatu yang direncanakan secara tergesa-gesa, melainkan telah melalui perencanaan yang mata. Paulus telah memperhitungkan letak masing-masing kota yang akan dia kunjungi, durasi tinggal serta seberapa pengaruh kota tersebut bagi pelaksanaan misi. Bosch mengistilahkannya sebagai Zentrumsmission, yaitu misi di pusat-pusat strategis tertentu.[5] Secara khusus, Paulus memusatkan misinya pada metropolis atau ibukota propinsi, karena menurutnya dapat mewakili seluruh wilayahnya, entah itu dari aspek komunikasi, budaya, perdagangan, politik ataupun tata keagamaan.
Adalah Filipi untuk makedonia, Tesalonika untuk makedonia dan akhaya, Korintus untuk akhaya dan Efesus untuk asia. Pemilihan yang dilakukan olehnya menyiratkan bahwa Paulus tidak melandaskan misinya pada entitas etnis, melainkan secara regional, atau menurut hemat penulis, ia coba menyampaikan pada pembaca mengenai visinya yang lebih luas dalam menjalankan misi, bukan hanya kepada bangsa-bangsa non yahudi, tetapi kepada seluruh bangsa, yaitu bersifat oikumenis.
Dalam kerangka berpikir oikumenis, Paulus mulai memperhitungkan jangkauan yang lebih luas untuk menjalankan misinya. Kota Roma menjadi starting point yang pas, karena berstatus ibukota dari kekaisaran Romawi. Akan tetapi mengingat telah ada perkumpulan Kristen di kota ini, maka Paulus mengurungkan niatnya untuk kesana dan menunggu waktu yang tepat untuk mengunjunginya.
Mengingat betapa luasnya cakupan daerah misi yang diemban oleh Paulus, maka sudah barang tentu bahwa ia tidak sendirian. Sebut saja Timotius, Barnabas,  Akwila dan masih banyak lagi yang menemaninya dalam serangkaian perjalanan ke jemaat-jemaat. Dalam diri partner-partnernya ini, Paulus merangkul jemaat-jemaat dan mengidentifikasi usaha misionernya, yaitu misi kerja sama. Namun, peran para rekan ini hanya dapat dideskripsikan secara jelas apabila disandingkan dengan jemaat-jemaat.
Dalam menjalankan misinya, Paulus senantiasa menjadikan dirinya seorang panutan, bukan hanya untuk rekan-rekannya melainkan untuk seluruh orang Kristen. Apa yang dilakukan oleh Paulus pada saat itu, tak ubahnya seperti yang ditunjukkan para filsuf moral. Perilaku yang ditampilkan Paulus, tak dapat dibedakan dari apa yang dikhotbahkannya; Injil tercermin melalui kehidupannya. Walaupun ada banyak kesamaan yang diperlihatkan oleh Paulus dan para filsuf moral tersebut, tapi ada beberapa bagian dimana mereka saling bertolak belakang, para filsuf tersebut lebih cenderung antroposentris, sedangkan Paulus dalam menjalankan perannya lebih menunjuk pada inisiatif dan kuasa Allah. Para filsuf mau menemukan "keselamatan" dalam keswasembadaan. Mereka berusaha memperoleh penguasaan atas diri sendiri agar dapat hidup secara serasi dengan alam. Tujuan hidup adalah untuk bertindak sesuai dengan alam, yakni sekaligus baik dengan alam yang ada dalam diri kita maupun dengan alam semesta. Jadi kehidupan yang sesuai dengan alam adalah keberadaan yang bijak dan bahagia, yang dinikmati hanya oleh orang yang selalu berusaha memelihara keserasian antara setan di dalam pribadi dengan kehendak Kuasa yang mengatur alam semesta. Sedangkan bagi Paulus, keselamatan berbeda sekali dengan gagasan tersebut. Ia menemukan bahwa keselamatan tidak bergantung pada diri sendiri, melainkan dengan penyerahan diri kepada Yesus Kristus: "Aku telah disalibkan dengan Kristus; namun aku hidup, tetapi bukan lagi aku sendiri yang hidup, melainkan Kristus yang hidup di dalam aku. Dan hidupku yang kuhidupi sekarang di dalam daging, adalah hidup oleh iman dalam Anak Allah yang telah mengasihi aku dan menyerahkan diri-Nya untuk aku" (Galatia 2:19-20).[6]
Perjalanan misi Paulus tidak terlepas dari motivasi yang melatari keputusannya ini. Bosch mencatat beberapa sikap yang mensponspori Paulus dalam menjalankan misinya.[7] Pertama, adanya rasa keprihatinan yang mendalam akan degradasi moral yang terjadi pada saat itu. Menurutnya manusia sedang tersesat dalam labirin dunia yang diciptakannya sendiri. Manusia cenderung setia pada kepalsuan. Kedua, Paulus merasa berhutang pada Kristus dan oleh sebab itu, ia merasa bertanggung jawab untuk mewartakan Injil bagi orang-orang yang dengan sengaja telah berdosa, yang tidak mempunyai alasan dan patut menerima keselamatan sebagaimana dirinya. Dan yang terakhir adalah rasa bersyukur. Menurut Bosch, sikap inilah yang menjadi motivasi misioner yang terdalam.Bagi Paulus, alasan paling dasariah untuk memberitakan Injil kepada semua orang bukan semata-mata karena keprihatinannya atas degradasi moral yang terjadi, ataupun rasa kewajiban yang dipikulkan ke pundaknya, melainkan rasa hak istimewa. Hal ini menjadi pemahaman yang dipergunakan Paulus untuk mengacu pada tugas misinya.

3.      Paulus dan Yesus Kristus
Cerita Perjanjian Baru atau dalam hal ini Injil, dimulai dengan hikayat mengenai kelahiran Yesus. Cerita fenomenal ini dipahami oleh sebagian besar orang sebagai permulaan Teologi Perjanjian Baru, namun tidak demikian menurut Robert Bultmann dalam bukunya “ Teologi Perjanjian Baru”.[8] Ia menilai Teologi Perjanjian Baru lahir dari perkembangan pikiran-pikiran atas iman Kristen. Dengan kata lain, Yesus tidak mewartakan dirinya sendiri, melainkan oleh gereja purba, yaitu Paulus.
Kehadiran Yesus memainkan peranan penting dalam perkembangan Teologi Paulus. Bultmann mengungkapkan bahwa proses kematian dan kebangkitan Yesus menjadi tolak ukur bagi Paulus dan mengesampingkan karya dan penyataan semasa hidupNya. Lantas apakah ada kesamaan antara pola pikir Yesus bagi teologi Paulus? Lebih jauh Bultmann menambahkan bahwa ketika membicarakan pewartaan Yesus dan Paulus, maka akan menyerempet kepada usaha untu menghubungkan keduanya. Secara historis, Paulus berasal dari tradisi helenis, sedangkan Yesus berasal dari tradisi Yahudi murni. Menghubungkan Paulus tidak sama seperti menghubungkan Injil dan Surat-surat Paulus. Pewartaan Paulus akan identitas Yesus langsung berdasarkan sejarah, bukan hasil kreasi iman, melainkan ungkapan iman. 
Sebelum membahas lebih lanjut, perlu disadari bahwa jauh sebelum pertobatan, Paulus telah berdiri dalam tradisi apokaliptik, pemahaman yang akan mewarnai ciri khas teologi Paulus. Apokaliptik sering kali dicirikan dengan tanggapan bahwa masa kini tidak berarti dan bahwa seluruh keselamatan terletak hanya di masa mendatang. Keputusasaan dan kekecewaan yang dialami banyak orang saat ini mendorong mereka untuk merindukan penebusan total di masa mendatang. Pemahaman ini menempatkan kerangka berpikir Paulus untuk meletakkan Yesus sebagai pusat gravitasi apokaliptik, menggantikan torah sebagaimana yang dianut tradisi yahudi. Namun hal ini tidak berarti telah usai sepeninggal Yesus, melainkan terus berjalan menuju pada keselamatan akhir zaman.
4.      Paradigma Misi Paulus[9]
1.Gereja sebagai Paguyuban Baru
Salah satu dari akibat misi Paulus adalah munculnya jemaat-jemaat dalam sekat budaya, sosial, ekonomi dan tradisi keagamaan. Paulus tidak pernah menghendaki hal ini, namun ia juga tak mampu menyangkal realita ini. Konsep yang diusungnya adalah ketika kita menerima Kristus, maka tak ada lagi pembedaan, semuanya menjadi satu, utuh dan penuh. Gerejalah yang diupayakan untuk merintis nilai Baru ini dan diharapkan mampu menerapkannya hingga waktu yang akan datang. Para anggota gereja kiranya menemukan identitas mereka dalam Kristus dan bukan melalui ras, kelas sosial, budaya ataupun jenis kelamin.
2.      Misi kepada Orang Yahudi
Dalam hubungan gereja dan israel, Bosch mengungkapkan beberapa argumen mengenai perlunya misi bagi orang-orang yahudi. Pertama, tak dapat dipungkiri bahwa bangsa Israel adalah matriks dan umat eskatologis Allah, dan karenanya gereja tidak boleh meninggalkan hikayat antara Allah dan bangsa Israel. Iman kristen adalah perluasan dan penafsiran Baru mengenai yahudi abad pertama. Gereja bukanlah israel Baru, melainkan israel yang diperluas. Kedua, gereja dan orang yahudi tercatat memiliki sejarah yang panjang yang diwarnai pembelokkan, kesalahpahaman, kebencian dan penganiayaan. Hal ini dikarenakan adanya rasa superior berlebihan yang dianut oleh gereja atas mereka. Ketiga, diperlukan usaha yang sungguh-sungguh untuk menghilangkan kecanggungan yang diakibatka oleh sejarah kelam tersebut. Keempat, perlu adanya pembedaan antara israel Perjanjian lama dan israel pada masa kini. Hal ini membantu kita untuk memahami keistimewaan israel sebagai umat pilihan Allah dan sebagai kumpulan orang-orang yahudi yang hidup dalam sebuah negara empirik dan modern; yang tak ada bedanya dengan perilaku bangsa lain. Terakhir, diperlukan kepekaan dan kerendahan hati yang luar biasa untuk mengabarkan Injil bagi orang-orang yahudi, mengingat rasa sensitif yang berlebihan yang terjadi akibat hubungan panjang kedua kubu.
3.      Misi di dalam Konteks Kemenangan Allah yang akan segera datang
Pendekatan temporal, bukan lagi alternatif yang pas apabila diperhadapkan dengan penggenapan kerajaan allah. Pengharapan akan hal ini  semakin memudar seiring waktu yang terus berjalan tanpa terjadi apa-apa. Untuk menyikapi hal ini, diperlukan pengetahuan yang pasti akan kemenangan allah. Itulah esensi hidup sebagai orang kristen. Mengetahui dan mengakui kemenangan allah semata-mata berada ditangannya mengatasi spekulasi-spekulasi dan antisipasi-antisipasi kronologis.
4.      Misi dan Transformasi Masyarakat
Satu hal yang perlu diingat, bahwa pada masa Paulus gerakan kristen masih merupakan bagian dari sebuah kemasyarakatan. Namun pemahaman apokaliptik Paulus cenderung menolak upaya untuk berinteraksi dengan sentimen kemasyarakatan, bahkan sampai titik tertentu Paulus cenderung tidak berupaya untuk mengkritik struktur-struktur masyarakat yang tidak adil dan bersikap positif pada kekaisaran romawi. Adapun sebenarnya Paulus menolak akan hal-hal ini. Melalui penafsiran yang radikal akan apokaliptik yang dianutnya, Paulus menekankan pada partisipasi aktif dalam upaya kemenangan allah; bukan hanya yang datang melainkan pada saat ini juga. Kehidupan kristen tidak didasarkan melulu pada kesalehan batin dan tindakan-tindakan kultus, tapi juga pada ketaatan jasmani dan melayani Kristus dalam kehidupan sehari-hari.
5.      Misi di dalam kelemahan
Apa yang telah dihasilkan oleh Paulus bukanlah sebuah candu untuk menghindarkan para pembacanya dari kesengsaraan dan penderitaan melalui konsep kemenangan Allah. Baginya, penderitaan dan kesengsaraan bukanlah sesuatu yang dapat diatasi dengan berperilaku pasif, diperlukan sikap proaktif sebagai upaya untuk mengungkapkan  keterlibatan gereja bagi dunia, demi penebusan dunia itu sendiri. 
6.      Tujuan Misi
Meskipun gereja merupakan bagian tak terpisahkan dari perjalanan misi, namun tidak berarti sebagai tujuan akhir. Kehidupannya terkait erat dengan rencana historik kosmis allah demi penebusan dunia.Dalam Kristus, pendamaian tidak hanya diberikan oleh allah bagi gereja, namun juga bagi dunia. Akar utama pemahaman Paulus tentang misi adalah keyakinan pribadi dalam Kristus. Misi Paulus didasarkan atas jawaban dan bukan permasalahan. Berdasarkan pemecahan yang telah ditemukannya, maka Injil yang harus diwartakan adalah Injil tentang kasih yang tidak bersyarat dan bersifat cuma-cuma.


[1] Tom Jacobs, Paulus:Hidup, Karya dan Teologinya  (Yogyakarta : Kanisius, 1984), 9 – 13
[2] David J. Bosch, Tranformasi Misi Kristen: Sejarah Teologi Misi yang Mengubah dan Berubah (New York: Orbis Books, 1991), 197
[3] Tom Jacobs,49
[4] Bosch, 201
[5] Bosch 203
[6] John Drane, Memahami Perjanjian Baru (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996),
[7] Bosch, 210
[8] Tom Jacobs, 110

[9] Bosch, 268

Pdt. Erik Sunando Sirait
Pdt. Erik Sunando Sirait Anak Pertama dari 7 bersaudara, ibu yang melahirkan boru Simalango (Parna), Istri Lilis Suganda Lumban Gaol dan sudah dikaruniakan 3 Putri yang cantik Sheena Syelomitha Sirait Serefina Faith Sirait Shiloh Hope Sirait

1 comment for "Paulus dan Kekristenan"

  1. Do you realize there is a 12 word sentence you can say to your partner... that will trigger deep feelings of love and impulsive attractiveness to you deep within his chest?

    Because deep inside these 12 words is a "secret signal" that fuels a man's impulse to love, look after and care for you with all his heart...

    12 Words Who Fuel A Man's Love Response

    This impulse is so built-in to a man's mind that it will drive him to try harder than before to love and admire you.

    As a matter of fact, triggering this dominant impulse is so mandatory to having the best possible relationship with your man that once you send your man one of the "Secret Signals"...

    ...You will immediately notice him expose his soul and heart for you in a way he's never expressed before and he'll see you as the only woman in the universe who has ever truly attracted him.

    ReplyDelete