Khotbah Lukas 12: 13-21 "Jauhilah Ketamakan"
A. Pendahuluan
Salah
satu akibat dari globalisasi adalah masyarakat konsumtif, dan konsumerisme
telah menjadi ideologi besar pada zaman ini. Yang dimaksud dengan masyarakat
konsumtif adalah masyarakat yang membeli secaraberlebihan, bukan membeli
hal-hal yang perlu saja untuk hidup, dan tidak pernah bisa mengatakan cukup.
Dari kacamata psikologi, masyarakat konsumtif dengan mudah tercipta karena ada
tiga alasan. Pertama, orang suka membandingkan diri dengan orang lain, Kedua,
keinginan untuk mendapatkan kompensasi dan yang ketiga, kecenderungan untuk
memamerkan keberhasilan ekonomi sebagai bentuk keselamatan. Kalau seorang ahli
filsafat Descartes mengatakan, “Saya berpikir maka saya ada”, masyarakat
konsumtif mengatakan, “Saya berbelanja maka saya ada”. Apabila arus zaman sudah
seperti itu, maka banyak orang berlomba-lomba mengejar harta, kekayaan dan
materi-materi duniawi sehingga hidupnya hanya berfokus pada kekayaan duniawi.
Di sinilah muncul bahaya atau ancaman bagi umat beriman. Mengapa? Karena
ancaman keserakahan,kerakusan dan ketamakan mengikis kehidupan manusia sebagai
citra Allah. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk menghadapi ancaman tersebut
sebagai murid Kristus yang hidup dalam situasi seperti itu? Firman Tuhan saat
ini (yakni Luk 12: 13-21) menawarkan inspirasi untuk menyadarkan akan harta
yang sesungguhnya dan menyikapi harta di dalam hidup ini.
B. Penjelasan
Nas
Dalam ayat 13-15 menerangkan situasi
percakapan yang terjadi antara seseorang dengan Yesus di tengah-tengah kumpulan
orang banyak yang meminta
Yesus memutuskan/menyelesaikan masalah yang sedang ia hadapi dengan saudaranya
tentang harta warisan. Maksud orang itu ialah agar Yesus yang ia anggap sebagai
Guru dapat menyelesaikan masalah warisan yang sedang dialaminya. Anggapan
orang itu menunjukkan bahwa ia ingin menggunakan wibawa atau otoritas Yesus
sebagai Guru, dan ia ingin dibela atau mencari jalan keluar karena masalah yang
sedang ia hadapi. Namun, Yesus tidak menuruti maksud hatinya sehingga Yesus
menolak untuk menyelesaikan masalahnya dan juga karena Yesus menyadari bahwa Ia bukanlah Rabi yang ditahbiskan. Hal ini berarti bahwa orang itu ingin perkaranya
dibela oleh Yesus yang adalah seorang Guru dan juga yang dikenal di kalangan
mereka pada masa itu (Ay.14). Hal
ini berarti bahwa pada waktu itu Yesus juga menyadari posisi diri-Nya sebagai
Guru, dan bukan hakim atau pengantara sehingga Yesus menggunakan kesempatan itu
untuk memperingatkan dan mengajar tentang segala ketamakan akan harta benda (lih.
Ay.15). Pada ayat tersebut ada empat kata kunci yang menjadi dasar pengajaran
Yesus.
Yang
pertama “berjaga-jagalah”
(Yun. horate) yang berarti mengetahui, mengerti, memperhatikan, berjaga-jaga.
Kedua,
kata “waspadalah” (Yun. Phulassesthe) yang berarti menjaga, berhati-hati,
menjaga, memelihara. Kedua kata
tersebut menunjuk kepada mereka yang mendengar peringatan dari Yesus dan isinya
ialah suatu perintah yang harus dilakukan secara terus-menerus untuk melindungi
diri dari sesuatu yang berasal dari luar diri manusia. Matthew Henry
menjelaskan kedua kata ini bahwa mengawasi diri berarti menjaga hati dengan
baik-baik sehingga sikap tamak tidak merasuki hati, dan memelihara diri, yaitu
membalut hati rapat-rapat sehingga ketamakan tidak menguasai dan memerintah
dalam hati. Dengan demikian kedua kata tersebut menjelaskan bahwa yang
dimaksudkan dengan sesuatu yang dari luar diri manusia ialah sifat tamak, di
mana semua orang harus berjuang secara terus-menerus untuk berhati-hati terhadap
kekayaan. Namun bukan berarti bahwa kekayaan materi adalah sesuatu yang jahat,
tetapi sikap hati orang yang mencintai kekayaan lebih dari mengasihi Allah
sendiri adalah hal yang ditentang oleh Allah sendiri (bnd. 1 Tim. 6:10).
Konteks ini menganjurkan untuk waspada terhadap segala ketamakan karena hidup
manusia tidak tergantung pada kekayaan yang dimilikinya. Ini artinya, “kebahagiaan
dan kesenangan tidak bergantung pada kepemilikan atas kekayaan yang melimpah di
dunia.
Ketiga,
kata “segala ketamakan (Yun. pases
pleonexias) menjelaskan bahwa ketamakan sama dengan “kehausan untuk
memiliki lebih banyak, tentang segala jenis harta benda untuk memuaskan diri
sendiri. Jadi, maksud ungkapan Yesus tentang frase pases pleonexias menunjuk dan menjelaskan bahwa keinginan akan
segala warisan atau harta benda, yang mana fokus hidup akhirnya hanya berpusat
pada kekayaan/kenikmatan duniawi.
Keempat,
kata “hidup” (Yun. zoe), merupakan subjek dari orang yang memiliki banyak harta
yang diungkapkan Yesus dalam ayat 15. Matthew Henry menjelaskan bahwa kehidupan
jiwa tidak tergantung pada kekayaan, bahkan kehidupan tubuh dan kebahagiaannya
pun tidak terletak pada kelimpahan harta benda duniawi karena banyak orang yang
mempunyai sedikit kekayaan duniawi namun hidup dengan tenang. Hal ini berarti
bahwa kekayaan secara materi tidak menjamin bahwa hidup seseorang akan menjadi
aman dan tenang. Dengan demikian, pernyataan Yesus pada ayat ini (ay.15) menjelaskan
suatu peringatan (Yesus memperingatkan orang itu), bahwa sesungguhnya ia adalah
orang yang memiliki sifat tamak. Oleh karena itu, Yesus menegur dan
memperingatkan orang itu, bahkan semua mereka yang ada di situ. Isi teguran dan
peringatan Yesus ialah agar mereka berhati-hati terhadap sifat tamak karena
hidup manusia tidaklah bersumber dari kekayaan secara materi, tetapi hidup
adalah pemberian Allah, dan jaminan keamanan hidup tidak dapat diperoleh dari
kekayaan materi. Untuk menjelaskan hal ini secara detail, Tuhan Yesus
menggunakan sebuah perumpamaan tentang seorang kaya dalam ayat 16-19. Perumpamaan ini menjelaskan tentang seorang kaya yang
memiliki tanah berlimpah-limpah dan setiap hari hartanya bertambah-tambah.
Maka, persoalan yang dihadapinya bukan bagaimana
membagi/mempergunakan harta bendanya untuk kebaikan, tapi bagaimana
mengumpulkan dan menyimpan harta-hartanya. Nampaknya, hidup orang kaya ini
dilalui dengan pola seperti ini, mencari, mengumpulkan dan menyimpan yang
berulang setiap harinya. Untuk itu, dalam perumpamaan ini, muncul problem untuk
menyimpan harta bendanya sebab tidak ada ruang lagi. Lalu, ia merombak
gudang-gudangnya. Dengan cara
demikian maka ia memaknai hidupnya ; ...jiwaku, ada padamu banyak barang,
tertimbun bertahun-tahun lamanya… (Ay19). Pola hidup yang
dibangun demikian, menurutnya adalah sebuah cara yang paling tepat untuk memaknai hidup. Harta benda, menjadi tujuan hidup yang paling luhur dan akhir
baginya, tidak ada cara lain. Baginya, harta benda sekali lagi adalah tujuan
hidup. Ia hidup
karena dan untuk kekayaan materinya, di mana ia hanya menikmati kekayaannya
untuk diri sendiri. Ia tidak menyadari hidup adalah anugerah Allah dan kekayaan
materi juga adalah pemberian dari Allah sendiri, yang mana ia juga harus
menggunakan kekayaanya untuk membantu sesamanya. Pada ayat 20 sangat menarik melihat sebuah fakta yang terlupakan oleh
orang kaya itu, yakni; kematian! Maka pertanyaan dalam ayat ini, bila dilihat
dengan seksama akan menghancurkan dalil hidup atas ketamakan harta benda. Sebab, jika harta adalah segalanya untuk
dinikmati, bagaimana jika maut menjemput? Lalu siapa yang akan
menikmatinya? Di ayat 21, Tuhan
Yesus menjelaskan bahwa demikianlah jadinya bagi orang yang mengumpulkan harta
bagi dirinya sendiri, jika ia tidak kaya di hadapan Tuhan. Perumpamaan ini tidak menyerang orang-orang kaya, atau
sinis terhadap harta benda, tetapi kepada
cara orang melihat harta benda itu. untuk
itulah maka di ayat 21 ada penekanan, jika ia tidak kaya di dalam Tuhan!
Jadi problemnya bukan di harta benda itu, tapi
bagaimana kita menilai dan melihatnya.
C. Renungan
1.
Ketamakan adalah dosa tentang keinginan akan harta benda
atau keinginan akan hak milik orang lain yang akan nyata dalan perilaku hidup
manusia, yang mana orang yang tamak akan melupakan Allah, tidak puas dengan
berkat dari Allah, mementingkan diri sendiri, mencintai kekayaan dan hidupnya
hanya mau bersenang-senang tanpa peduli kepada sesamanya.
2.
Kekayaan memiliki ironi seperti menawarkan suatu
kebahagiaan bagi manusia, sehingga manusia seringkali terkecoh olehnya dan
terjatuh dalam dosa ketamakan. Namun, Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa
kebahagiaan yang sejati tidak bisa didapat melalui kekayaan, melainkan hanya di
dalam Allah saja.
3.
Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa kekayaan adalah
milik Allah (bnd. Kej. 1:29), yang juga diberikan kepada manusia. Namun, seringkali manusia salah memiliki
persepsi tentang kekayaan dan juga menjadikan kekayaan sebagai yang terutama
dalam hidup. Dalam Matius 6:33 menunjukkan bahwa
Allahlah yang harus menjadi yang terutama dalam hidup, dan bukan kekayaan yan menggantikan
posisi Allah sebagai yang terutama dalam hidup manusia.
4.
Perikop ini
hendak menyegarkan
ingatan/persfektif/pola hidup kita untuk melihat kembali hal-hal yang
substansif dalam hidup ini. Di tengah gencarnya serangan
globalisasi/kapitalisasi yang mengurung dan menyempitkan ruang gerak manusia,
maka bahasa dan gayanya sangat materialistis. Media, pasar modern [mall, plaza,
super market] mendorong gaya hidup yang sangat konsumtif. Untuk itu, melalui perikop
ini kita diingatkan bahwa hidup ini bukan saja tentang harta-benda,
pangkat-jabatan, pamor-popularitas. Hidup harus diperkaya akan kebajikan,
keadilan, kepedulian, semangat berbagi dalam kasih dan inilah kekayaan di
hadapan Tuhan Allah. Amin.
Nb : ditulis oleh Pdt. Benny Hutagalung, S.Th (Pdt. GKPI
Res. Bahal Gajah)
Post a Comment for "Khotbah Lukas 12: 13-21 "Jauhilah Ketamakan" "