Pandangan Kekristenan dan Etika Terhadap Poligami
Salah satu bentuk
perkawinan yang sering menjadi pembicaraan dalam masyarakat adalah masalah
poligami. Persoalan poligami bukan merupakan fenomena yang baru muncul, karena
persoalan pernikahan ini telah dilakukan oleh banyak orang dari waktu ke waktu.
Persoalan poligami sering kali menimbulkan kotroversi dari berbagai pihak
dengan alasan merugikan kaum perempuan. Masalah poligami tetap menarik untuk
dibahas dan selalu akan menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Di Indonesia
sendiri masalah poligami merupakan perkawinan yang kontroversial, karena
sebagian masyarakat menganggap bahwa poligami bertentangan dengan agama, namun
ada juga agama di Indonesia yang justru memperbolehkan praktek poligami di
dalam pernikahan. Banyak tokoh-tokoh di Indonesia yang justru membela dan
melakukan poligami di dalam pernikahannya. Salah satu contoh yang pada saat ini
hangat diperbincangkan adalah kasus Irjen Djoko Susilo yang adalah seorang
jenderal polisi seharusnya memberikan keteladanan yang baik jutru memiliki
istri lebih dari satu. Dan masih banyak lagi kasus poligami yang dilakukan oleh
tokoh-tokoh masyarakat di Indonesia.
Istilah poligami berasal dari bahasa Latin, yaitu Polygamia (poly dan gamia) atau dari
gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy yang berasal dari asal kata polus (banyak) dan gamos (kawin).[1]
Jadi secara harafiah poligamu merupakan perkawinan dalam jumlah yang banyak.
Sedangkan secara terminologi poligami merupakan suatu praktik atau kondisi
(perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan yang dilakukan pada waktu
bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami disefinisikan sebagai
sistem perkawinan yang saah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan
jenis dalam waktu bersamaan. Dalam antropologi sosial terdapat tiga bentuk
poligami, yaitu:
a. Poligini
yaitu
sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki atau mengawini
beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan (seorang
laki-laki memiliki beberapa istri sekaligus), menurut para ahli sejarah model
perkawinan ini sudah berlangsung sejak lama dan diakui oleh banyak peradaban
bangsa-bangsa dunia.
b. Poliandri
yaitu
sistem perkainan yang membolehkan perempuan mempunyai suami lebih dari satu
orang dalam waktu yang bersamaan (seorang istri/ perempuan memiliki beberapa
suami sekaligus). Praktek perkawinan poliandri sering dijumpai dibagian selatan
dan utara India dan beberapa wilayah di Rusia. Perkawinan poliandri ini seorang
istri secara alami dan otomatis me njadi istri dari seluruh saudara
laki-lakinya atau kerabat yang berhubungan dekat. Akan tetapi secara umum
praktek poliandri ini tidak diakui oleh agama manapun dan diangggap sebagai
penyimpangan sosial.
c. Perkawinan
Kelompok yaitu kombinasi poligami dan poliandri. Perkawinan
jenis ini terjadi dalam masyarakat primitive seperti di daerah pegunungan
Tibet, Himalaya India dan Australia.
Dari ketiga bentuk
poligami ini ditemukan prakteknya dalam sejarah, akan tetapi praktek poligini
merupakan praktek perkawinan yang paling umum dilakukan. Fenomena poligami
semakin marak akhir-akhir ini, terutama karena dipertontonkan secara vulgar
oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan
agamawan.
Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya poligami, karena alasan-alasan tertentu, misalnya masalah ekonomi sehingga orang beranggapan dengan mempunyai istri lebih dari satu dapat diharapkan mempunyai anak yang banyak. Banyak anak berarti banyak tenaga, sehingga jikalau istri pertama tidak bisa memberikan keturunan maka suami menikah lagi. Selain untuk mendapatkan keturunan, berpoligami dapat pula dilatarbelakangi untuk menambah martabat dalam masyarakat, kekayaan, kedudukan politik.[2] Rendahnya tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman yang benar tentang pernikahan.
2. Permasalahan di dalam Praktek
Poligami
Khusus dalam tulisan
ini, penulis tetap menggunakan istilah poligami (dalam arti poligini), pemulis
menggunakan istilah poligami karena istilah yang “terlanjur” lebih populer
dikenal. Berikut ini penulis akan memaparkan beberapa ancaman bagi kehidupan
perempuan dan rumah tangga dengan adanya praktek poligami di dalam satu
kehidupan rumah tangga:
a.
Kekerasan pada perempuan yang dapat
menyebabkan kesengsaraan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun
psikologis. Istri pertama yang merasa diambil suaminya, disakiti hatinya,
merasa disaingi keberadaannya dalam rumah tangganya sendiri. Istri kedua dan
seterusnya akan tetap merasa sengsara karena menjadi istri kedua atau
selanjutnya biasanya ditanggapi negatif oleh masyarakat dan kehidupan rumah
tangganya belum tentu akan bahagia seperti yang dijanjikan oleh suami sebelum
menikah. Misalnya dampak psikologis perasaan inferior (rendah diri) seorang istri
dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat
dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan juga
ketidakmampuan ‘membahagiakan’ suami.
b.
Menyengsarakan keluarga, hidup ini bukan
hanya dijalani oleh suami dengan istri dan suami dengan istri-istri saja.
Namun, diantaranya juga terdapat anak-anak yang masih kecil atau dewasa yang
dapat melihat secara langsung ketidakbijaksanaan orang tuanya terutama ayah
yang ingin menikah lagi atau hidup berpoligami. Hal ini merupakan pengalaman
hidup yang pahit bagi anak-anak di dalam keluarga. Dengan melihat ayah yang
seharusnya menjadi teladan dalam keluarga dapat menimbulkan adanya rasa
kebencian dari anak terhadap ayahnya, akan dicemooh oleh teman-temannya ketika
bergaul dengan masyarakat, merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari orang
tua, menyebabkan anak menjadi tidak betah untuk berada di dalam lingkungan
keluarganya sendiri. Anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan
terjadi permusuhan atau persaingan tidak sehat.
c. Dampak ekonomi rumah tangga, ketergantungan secara ekonomi
kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap
istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami
lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya
terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan
menutupi kebutuhan sehari-hari.
d. Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan dapat menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
3.
Pandangan Kristen terhadap Poligami
Dalam ajaran Kristen, perkawinan merupakan perintah Tuhan yang suci
kepada manusia. Perkawinan ditetapkan Tuhan sendiri sebelum manusia jatuh ke
dalam dosa. Tuhan yang memberikan Hawa kepada Adam sebagai istrinya. Dengan
demikan Tuhan yang membentuk persekutuan suami istri dalam sebua perkawinan. Di
dalam Perjanjian Lama terdapat juga perkawinan poligami. Hal ini dapat dilihat
dalam sejarah bangsa Israel sendiri. Pada prinsipnya perkawinan di Israel
poligami.[3]
Para bapak leluhur Israel, seperti Abraham, Ishak, Yakub mempunyai istri lebih
dari satu. Dari kaca mata iman Krsiten harus diakui bahwa poligami, diakui
sebagai bentuk perkwinan yang sekurang-kurangnya ditolerir dan semula kurang
dipersoalkan dalam Perjanjian Lama: Hak. 8: 30-31; I Sam. 1: 2; I Raj. 11: 1-8;
bdk Kej. 4: 19-22; 30: 1 dst; Hak. 9: 2-5.
Tetapi sesudah Israel dihancurkan oleh kerajaan Asyur, etika perkawinan
makin murni. Sehingga bangsa Israel makin lama makin sadar bahwa poligami
bertentangan dengan kehidupan keluarga yang layak sehingga pada zaman Yesus
poligami tidak dipersoalkan lagi.[4]
Dalam Perjanjian Baru, asas perkawinan monogami lebih jelas lagi. Orang
berpoligami dilarang untuk menduduki suatu jabatan dalam gereja (I Tim. 3: 2;
Titus 1: 6). Pernikahan di kalangan Kristen adalah pernikahan monogami berarti
pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempulan. Orang yang meninggalkan
monogami dan melakukan poligami, bukanlah jalan menuju kebahagiaan melainkan
kehancuran. Monogami bukan hanya suatu tuntutan tetapi juga pemberian yang
besar.[5]
Menurut Verkuyl, poligami itu bertentangan dengan segala tuntutan kasih
Kristen, sebab kasih Kristen menuntut monogami. Kasih Kristen menolak poligami,
karena poligami bertentangan dengan kehendak Tuhan. Jadi perkawinan monogami
perlu disyukuri dan diterima oleh suami dan istri sebagai anugerah Tuhan yang
harus diaati. Dalam Perjanjian Baru melihat bahwa perkawinan itu bertitik tolak
dari kehidupan yang kudus dan harus memelihara kekudusan Allah dalam hidupnya
dengan menampakkan kasih. Ayat-ayat Perjanjian Baru yang berkaitan dengan
perkawinan adalah sebagai berikut: Markus 10: 6-9; I Korintus 7: 2b; I Korintus
7: 39; Roma 7: 2-3.
Dari ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan bersifat monogami yang bisa berakhir hanya oleh kematian.[6] Walaupun demikian di dalam Perjanjian Lama terdapat banyak bukti bahwa poligami dipraktekkan. Hal itu terjadi karena kekerasan hati manusia dan manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang sesungguhnya menurut ajaran Kristen adalah monogami dan menolak poligami karena itu tidak berdasarkan kasih Kristen.
4.
Keputusan Etis terhadap Poligami
Sudah menjadi opini publik bahwa perkawinan tentunya haruslah perkawinan
yang berasaskan monogami dan seumur hidup. Semua suku bangsa, agama maupun
pribadi individu sebenarnya sangat menginginkan perkawinan yang sah, baik dalam
pandangan hukum, budaya dan agama. Demikian halnya dengan poligami, secara
manusiawi tak seorang pun wanita yang ingin dimadu ataupun dijadikan sebagai
istri kedua dan seterusnya dalam suatu perkawinan dengan alasan tertentu. Dapat
dipastikan, bahwa agama dan tradisi memandang perkawinan sebagai sesuatu yang
suci dan agung.[7] Tentunya
setiap orang sebenarnya berpendapat yang sama bahwa poligami sebenarnya adalah
sebuah perbuatan yang dapat mengancam keharmonisan sebuah keluarga dan bahkan
dapat juga menghancurkan sebuah keluarga.
Orang yang memasuki suatu hubungan perkawinan berharap bahwa perkawinan
itu akan selamanya abadi. Janji dan ikrar dalam suatu sumpah perkawinan yang
menjadi dasar pembentukan rumah tangga akan menjadi pudar dan tak bermakna
ketika poligami sudah terjadi di dalamnya. Rasanya tidak ada perempuan yang
menginginkan suaminya melakukan poligami, demikian juga dengan anak-anak di dalam
sebuah kehidupan rumah tangga tentunya tidak ingin ayah mereka melakukan
poligami. Karena tidak ada yang paling sakit yang dirasakan perempuan selain
hidup dipoligami. Walaupun itu adalah pilihan yang harus dilaksanakan karena
alasan-alasan tertentu. Misalnya istri tidak bisa memberikan keturunan, istri
tidak bisa melayani kebutuhan seks karena sakit dan sebagainya.
Menurut penulis praktek perkawinan poligami seharusnya tidak dilakukan
meskipun dengan alasan-alasan tertentu. Mengapa demikian? Karena dengan melihan
dampak negatif dari perkawinan poligami ternyata justru akan merugikan diri
sendiri dan orang lain di sekitarnya. Penulis setuju bila perkawinan yang
sesungguhnya adalah monogami, karena perkawinan itu adalah kudus dan merupakan
anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Dalam praktek poligami tentunya ada
suatu indikasi kekerasan yang terjadi baik terhadap istri pertama maupun istri
kedua dan selanjutnya serta anak-anak.
[1] William
Morris, The Heritage Illustrated
Dictionary of the English Language, Vol. II (Houghton Mifflin Campany:
Boston, 1979), 116.
[2]
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Antropogi
Budaya, 1981, 53
[3] Groenen,
Perkawinan Sakramental: Antropologi dan
Sejarah Teologi, Sistematika, Spritualitas, Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius),
68.
[4] Kiswara, Problem Perkawinan¸ (Yogyakarta:
Kanisius, 1981), 74
[5] Verkuyl,
Etika Seksuil, 56
[6] Mesach
Krisetya, Konseling Pernikahan dan
Keluarga, (Salatiga, UKSW, 1996), 22
[7] Priyono
B. Sumbogo, Jurnal: Forum Keadilan No 5, Vol. 7, Juni 2003, 9
Post a Comment for "Pandangan Kekristenan dan Etika Terhadap Poligami"