Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Pandangan Kekristenan dan Etika Terhadap Poligami


1.     Sekilas tentang Poligami

Salah satu bentuk perkawinan yang sering menjadi pembicaraan dalam masyarakat adalah masalah poligami. Persoalan poligami bukan merupakan fenomena yang baru muncul, karena persoalan pernikahan ini telah dilakukan oleh banyak orang dari waktu ke waktu. Persoalan poligami sering kali menimbulkan kotroversi dari berbagai pihak dengan alasan merugikan kaum perempuan. Masalah poligami tetap menarik untuk dibahas dan selalu akan menimbulkan pro dan kontra di dalamnya. Di Indonesia sendiri masalah poligami merupakan perkawinan yang kontroversial, karena sebagian masyarakat menganggap bahwa poligami bertentangan dengan agama, namun ada juga agama di Indonesia yang justru memperbolehkan praktek poligami di dalam pernikahan. Banyak tokoh-tokoh di Indonesia yang justru membela dan melakukan poligami di dalam pernikahannya. Salah satu contoh yang pada saat ini hangat diperbincangkan adalah kasus Irjen Djoko Susilo yang adalah seorang jenderal polisi seharusnya memberikan keteladanan yang baik jutru memiliki istri lebih dari satu. Dan masih banyak lagi kasus poligami yang dilakukan oleh tokoh-tokoh masyarakat di Indonesia.

Istilah poligami berasal dari bahasa Latin, yaitu Polygamia (poly dan gamia) atau dari gabungan kata bahasa Yunani poly dan gamy yang berasal dari asal kata polus (banyak) dan gamos (kawin).[1] Jadi secara harafiah poligamu merupakan perkawinan dalam jumlah yang banyak. Sedangkan secara terminologi poligami merupakan suatu praktik atau kondisi (perkawinan) lebih dari satu istri, suami, pasangan yang dilakukan pada waktu bersamaan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, poligami disefinisikan sebagai sistem perkawinan yang saah satu pihak memiliki atau mengawini beberapa lawan jenis dalam waktu bersamaan. Dalam antropologi sosial terdapat tiga bentuk poligami, yaitu:

a.       Poligini yaitu sistem perkawinan yang membolehkan seorang laki-laki memiliki atau mengawini beberapa perempuan sebagai istrinya dalam waktu yang bersamaan (seorang laki-laki memiliki beberapa istri sekaligus), menurut para ahli sejarah model perkawinan ini sudah berlangsung sejak lama dan diakui oleh banyak peradaban bangsa-bangsa dunia.

b.      Poliandri yaitu sistem perkainan yang membolehkan perempuan mempunyai suami lebih dari satu orang dalam waktu yang bersamaan (seorang istri/ perempuan memiliki beberapa suami sekaligus). Praktek perkawinan poliandri sering dijumpai dibagian selatan dan utara India dan beberapa wilayah di Rusia. Perkawinan poliandri ini seorang istri secara alami dan otomatis me njadi istri dari seluruh saudara laki-lakinya atau kerabat yang berhubungan dekat. Akan tetapi secara umum praktek poliandri ini tidak diakui oleh agama manapun dan diangggap sebagai penyimpangan sosial.

c.       Perkawinan Kelompok yaitu kombinasi poligami dan poliandri. Perkawinan jenis ini terjadi dalam masyarakat primitive seperti di daerah pegunungan Tibet, Himalaya India dan Australia.

Dari ketiga bentuk poligami ini ditemukan prakteknya dalam sejarah, akan tetapi praktek poligini merupakan praktek perkawinan yang paling umum dilakukan. Fenomena poligami semakin marak akhir-akhir ini, terutama karena dipertontonkan secara vulgar oleh para tokoh panutan di kalangan birokrasi, politisi, seniman, dan bahkan agamawan.

Adapun faktor-faktor penyebab terjadinya poligami, karena alasan-alasan tertentu, misalnya masalah ekonomi sehingga orang beranggapan dengan mempunyai istri lebih dari satu dapat diharapkan mempunyai anak yang banyak. Banyak anak berarti banyak tenaga, sehingga jikalau istri pertama tidak bisa memberikan keturunan maka suami menikah lagi. Selain untuk mendapatkan keturunan, berpoligami dapat pula dilatarbelakangi untuk menambah martabat dalam masyarakat, kekayaan, kedudukan politik.[2] Rendahnya tingkat pendidikan juga merupakan salah satu faktor yang menyebabkan kurangnya pemahaman yang benar tentang pernikahan.

2.      Permasalahan di dalam Praktek Poligami

Khusus dalam tulisan ini, penulis tetap menggunakan istilah poligami (dalam arti poligini), pemulis menggunakan istilah poligami karena istilah yang “terlanjur” lebih populer dikenal. Berikut ini penulis akan memaparkan beberapa ancaman bagi kehidupan perempuan dan rumah tangga dengan adanya praktek poligami di dalam satu kehidupan rumah tangga:

a.       Kekerasan pada perempuan yang dapat menyebabkan kesengsaraan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual maupun psikologis. Istri pertama yang merasa diambil suaminya, disakiti hatinya, merasa disaingi keberadaannya dalam rumah tangganya sendiri. Istri kedua dan seterusnya akan tetap merasa sengsara karena menjadi istri kedua atau selanjutnya biasanya ditanggapi negatif oleh masyarakat dan kehidupan rumah tangganya belum tentu akan bahagia seperti yang dijanjikan oleh suami sebelum menikah. Misalnya dampak psikologis perasaan inferior (rendah diri) seorang istri dan menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya dan juga ketidakmampuan ‘membahagiakan’ suami.

b.      Menyengsarakan keluarga, hidup ini bukan hanya dijalani oleh suami dengan istri dan suami dengan istri-istri saja. Namun, diantaranya juga terdapat anak-anak yang masih kecil atau dewasa yang dapat melihat secara langsung ketidakbijaksanaan orang tuanya terutama ayah yang ingin menikah lagi atau hidup berpoligami. Hal ini merupakan pengalaman hidup yang pahit bagi anak-anak di dalam keluarga. Dengan melihat ayah yang seharusnya menjadi teladan dalam keluarga dapat menimbulkan adanya rasa kebencian dari anak terhadap ayahnya, akan dicemooh oleh teman-temannya ketika bergaul dengan masyarakat, merasa tidak mendapat perlakuan yang adil dari orang tua, menyebabkan anak menjadi tidak betah untuk berada di dalam lingkungan keluarganya sendiri. Anak-anak yang lahir dari ibu yang berbeda sangat rawan terjadi permusuhan atau persaingan tidak sehat.

c.       Dampak ekonomi rumah tangga, ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu. Akibatnya istri yang tidak memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.

d.      Dampak kesehatan: Kebiasaan berganti-ganti pasangan dapat menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.

3.      Pandangan Kristen terhadap Poligami

Dalam ajaran Kristen, perkawinan merupakan perintah Tuhan yang suci kepada manusia. Perkawinan ditetapkan Tuhan sendiri sebelum manusia jatuh ke dalam dosa. Tuhan yang memberikan Hawa kepada Adam sebagai istrinya. Dengan demikan Tuhan yang membentuk persekutuan suami istri dalam sebua perkawinan. Di dalam Perjanjian Lama terdapat juga perkawinan poligami. Hal ini dapat dilihat dalam sejarah bangsa Israel sendiri. Pada prinsipnya perkawinan di Israel poligami.[3] Para bapak leluhur Israel, seperti Abraham, Ishak, Yakub mempunyai istri lebih dari satu. Dari kaca mata iman Krsiten harus diakui bahwa poligami, diakui sebagai bentuk perkwinan yang sekurang-kurangnya ditolerir dan semula kurang dipersoalkan dalam Perjanjian Lama: Hak. 8: 30-31; I Sam. 1: 2; I Raj. 11: 1-8; bdk Kej. 4: 19-22; 30: 1 dst; Hak. 9: 2-5.

Tetapi sesudah Israel dihancurkan oleh kerajaan Asyur, etika perkawinan makin murni. Sehingga bangsa Israel makin lama makin sadar bahwa poligami bertentangan dengan kehidupan keluarga yang layak sehingga pada zaman Yesus poligami tidak dipersoalkan lagi.[4] Dalam Perjanjian Baru, asas perkawinan monogami lebih jelas lagi. Orang berpoligami dilarang untuk menduduki suatu jabatan dalam gereja (I Tim. 3: 2; Titus 1: 6). Pernikahan di kalangan Kristen adalah pernikahan monogami berarti pernikahan seorang laki-laki dengan seorang perempulan. Orang yang meninggalkan monogami dan melakukan poligami, bukanlah jalan menuju kebahagiaan melainkan kehancuran. Monogami bukan hanya suatu tuntutan tetapi juga pemberian yang besar.[5]

Menurut Verkuyl, poligami itu bertentangan dengan segala tuntutan kasih Kristen, sebab kasih Kristen menuntut monogami. Kasih Kristen menolak poligami, karena poligami bertentangan dengan kehendak Tuhan. Jadi perkawinan monogami perlu disyukuri dan diterima oleh suami dan istri sebagai anugerah Tuhan yang harus diaati. Dalam Perjanjian Baru melihat bahwa perkawinan itu bertitik tolak dari kehidupan yang kudus dan harus memelihara kekudusan Allah dalam hidupnya dengan menampakkan kasih. Ayat-ayat Perjanjian Baru yang berkaitan dengan perkawinan adalah sebagai berikut: Markus 10: 6-9; I Korintus 7: 2b; I Korintus 7: 39; Roma 7: 2-3.

Dari ayat-ayat di atas, dapat dipahami bahwa perkawinan bersifat monogami yang bisa berakhir hanya oleh kematian.[6] Walaupun demikian di dalam Perjanjian Lama terdapat banyak bukti bahwa poligami dipraktekkan. Hal itu terjadi karena kekerasan hati manusia dan manusia dikuasai oleh hawa nafsunya. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pernikahan yang sesungguhnya menurut ajaran Kristen adalah monogami dan menolak poligami karena itu tidak berdasarkan kasih Kristen.

4.      Keputusan Etis terhadap Poligami

Sudah menjadi opini publik bahwa perkawinan tentunya haruslah perkawinan yang berasaskan monogami dan seumur hidup. Semua suku bangsa, agama maupun pribadi individu sebenarnya sangat menginginkan perkawinan yang sah, baik dalam pandangan hukum, budaya dan agama. Demikian halnya dengan poligami, secara manusiawi tak seorang pun wanita yang ingin dimadu ataupun dijadikan sebagai istri kedua dan seterusnya dalam suatu perkawinan dengan alasan tertentu. Dapat dipastikan, bahwa agama dan tradisi memandang perkawinan sebagai sesuatu yang suci dan agung.[7] Tentunya setiap orang sebenarnya berpendapat yang sama bahwa poligami sebenarnya adalah sebuah perbuatan yang dapat mengancam keharmonisan sebuah keluarga dan bahkan dapat juga menghancurkan sebuah keluarga.

Orang yang memasuki suatu hubungan perkawinan berharap bahwa perkawinan itu akan selamanya abadi. Janji dan ikrar dalam suatu sumpah perkawinan yang menjadi dasar pembentukan rumah tangga akan menjadi pudar dan tak bermakna ketika poligami sudah terjadi di dalamnya. Rasanya tidak ada perempuan yang menginginkan suaminya melakukan poligami, demikian juga dengan anak-anak di dalam sebuah kehidupan rumah tangga tentunya tidak ingin ayah mereka melakukan poligami. Karena tidak ada yang paling sakit yang dirasakan perempuan selain hidup dipoligami. Walaupun itu adalah pilihan yang harus dilaksanakan karena alasan-alasan tertentu. Misalnya istri tidak bisa memberikan keturunan, istri tidak bisa melayani kebutuhan seks karena sakit dan sebagainya.

Menurut penulis praktek perkawinan poligami seharusnya tidak dilakukan meskipun dengan alasan-alasan tertentu. Mengapa demikian? Karena dengan melihan dampak negatif dari perkawinan poligami ternyata justru akan merugikan diri sendiri dan orang lain di sekitarnya. Penulis setuju bila perkawinan yang sesungguhnya adalah monogami, karena perkawinan itu adalah kudus dan merupakan anugerah dari Tuhan yang harus disyukuri. Dalam praktek poligami tentunya ada suatu indikasi kekerasan yang terjadi baik terhadap istri pertama maupun istri kedua dan selanjutnya serta anak-anak.

 

 



[1] William Morris, The Heritage Illustrated Dictionary of the English Language, Vol. II (Houghton Mifflin Campany: Boston, 1979), 116.

[2] Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Antropogi Budaya, 1981, 53

[3] Groenen, Perkawinan Sakramental: Antropologi dan Sejarah Teologi, Sistematika, Spritualitas, Pastoral, (Yogyakarta: Kanisius), 68.

[4] Kiswara, Problem Perkawinan¸ (Yogyakarta: Kanisius, 1981), 74

[5] Verkuyl, Etika Seksuil, 56

[6] Mesach Krisetya, Konseling Pernikahan dan Keluarga, (Salatiga, UKSW, 1996), 22

[7] Priyono B. Sumbogo, Jurnal: Forum Keadilan No 5, Vol. 7, Juni 2003, 9


Pdt. Erik Sunando Sirait
Pdt. Erik Sunando Sirait Anak Pertama dari 7 bersaudara, ibu yang melahirkan boru Simalango (Parna), Istri Lilis Suganda Lumban Gaol dan sudah dikaruniakan 3 Putri yang cantik Sheena Syelomitha Sirait Serefina Faith Sirait Shiloh Hope Sirait

Post a Comment for "Pandangan Kekristenan dan Etika Terhadap Poligami"