Yesus Dalam Pandangan Budaya Jawa
Gambaran
Yesus dalam Versi Budaya Jawa
Siapakah
Yesus? Pertanyaan ini adalah suatu pertanyaan yang menarik perhatian, bahkan
bisa juga menimbulkan keheranan bagi kita yang hidup sekarang. Karena Yesus
yang hidup pada dua ribu tahun yang lalu, pertanyaan ini masih saja muncul. Di
Indonesia misalnya dengan konteks kehidupan dengan berbagai macam budaya,
tentunya akan cukup kesulitan untuk menerima Yesus yang pada dasarnya memiliki
kebudayaan Yahudi yang sangat kental dan diberitakan oleh misionaris-misionaris
Barat ke Indonesia dengan gambaran mereka sendiri tentang Yesus bukan lagi
dengan gambaran Yesus sebagai orang dengan kebudayaan Yahudi. Tentulah memiliki
suatu kesenjangan budaya, yang mungkin akan membuat kita cukup kesulitan untuk
memahami siapakah Yesus sebenarnya? Karena di Eropa sendiri yang merupakan
penyebar agama Kristen memiliki gambaran yang berubah-ubah sejak dulu sampai
sekarang. Jadi, untuk memahami Yesus itu sendiri banyak suku-suku bangsa di
dunia pada umumnya yang memiliki gambaran tentang siapa itu Yesus, dan di
Indonesia sendiri juga inkulturasi Yesus dalam budaya-budaya yang beragam
dilakukan untuk dapat lebih mudah memahami Yesus yang memiliki kebudayaan
Yahudi yang sangat kuat. Pada saat ini
saya akan mencoba memahami bagaimana orang Jawa yang sangat kental dengan
budaya mereka memahami Yesus menurut versi orang Jawa.
Pada
saat ini masih banyak orang Kristen Jawa yang masih memegang teguh tradisi
budaya Jawa yang sering disebut orang Kristen Kejawen, banyak dari
mereka yang mengalami kebingungan ketika mau menghidupi iman Kristen yang telah
mereka peluk. Berikut di bawah ini adalah salah satu ungkapan seorang bapak
yang mengalami kebingungan tersebut:
“Perjamuan Kudus bagi saya penting,
tetapi ada satu pertanyaan yang tidak sesuai dengan perasaan saya sebagai orang
Jawa. Bagi saya, saat Perjamuan Kudus itu terjadi manunggaling kawula Gusti (persatuan
dengan Allah). Hal itu terjadi saat saya menerima Tubuh Kristus. Saya hanya
belum bisa paham tentang persatuan ini karena menurut ilmu kejawen yang
dulu pernah saya pelajari, untuk bisa bersatu dengan Yang Ilahi itu perlu laku
yang berat. Dalam Perjamuan Kudus kok rasanya gampang banget, makanya seringkali
saya sendiri tidak yakin.”
Di
sini jelas terlihat bahwa tegangan tersebut terletak pada usaha untuk “manunggaling kawula Gusti”. Bagi orang
Kristen kejawen, untuk sampai pada titik “manunggaling
kawula Gusti”, mereka perlu melakukan pertapaan untuk membersihkan diri dan
menenangkan diri sebagai persiapan untuk menjumpai Yesus yang mereka sebut
sebagai “Gusti”. Pertapaan ini mereka
lakukan agar layak dan pantas hadir di hadirat Allah yang Mahakuasa yang mereka
sembah. Di sini ada semacam usaha manusia untuk sampai pada Allah melalui Yesus
yang dalam tradisi masyarakat Jawa disebut dengan Gusti. Dengan kata lain, “manunggaling
kawula Gusti” ini hanya bisa dicapai melalui sarana-sarana yang telah ada
dan yang telah ditentukan dalam ajaran kejawen dalam budaya Jawa.
Namun,
ketika mereka mulai menghayati iman Kristen, muncul kebingungan yang mereka
rasakan. kebingungan itu terletak pada pengalaman mereka saat mendalami iman
Kristen itu sendiri, terlebih saat menerima Tubuh dan Darah Tuhan Yesus
Kristus, berupa roti dalam perayaan Perjamuan Kudus. Di saat itu, pemahaman
mereka tentang Gusti ingkang Mahakuasa,
yang kesannya jauh dari manusia, diputarbalikkan. Gusti yang selama ini mereka anggap jauh, ternyata malah hadir dan
mendatangi mereka, bahkan menyatu dengan masuk ke dalam tubuh mereka.
Pengalaman perjumpaan ini sempat membuat bingung: bagaimana mungkin, Yesus
Kristus yang mereka anggap sebagai Gusti
ingkang Mahakuasa, bisa dengan mudah menyatu dengan mereka tanpa ada
melakukan pertapaan seperti yang diajarkan oleh aliran kejawen tertentu.
Menurut
J.B. Banawiratma dalam bukunya berjudul Yesus
Sang Guru: Pertemuan Kejawen dengan Injil, kejawen merupakan hasil
akulturasi kebudayaan Jawa dengan kebudayaan-kebudayaan lain. Dengan kata lain,
kejawen merupakan pergulatan akulturatif masyarakat Jawa berhadapan dengan
macam-macam pengaruh. Akulturasi di sini adalah perjumpaan antara dua budaya di
mana mereka sejajar satu sama lain saling menghormati dan toleran tanpa
menghasilkan sebuah perubahan di dalamnya. Lanjut Banawiratma, dikatakan di
situ bahwa bersatunya kawula dengan Gusti memuat juga cita-cita bersatunya
rakyat dengan raja sebagai wakil dari Hyang Agung. Namun, yang ditunjuk di sini
akhirnya adalah kesatuan dengan Gusti Allah. Di sini terlihat bahwa bersatunya
manusia dengan Allah merupakan kenyataan hidup yang paling dalam. Untuk sampai
pada kesatuan ini, di pihak manusia harus mengusahakan hati yang bersih,
misalnya dengan mengurangi makan dan tidur. Suci lahir batin harus diusahakan
untuk menuju kesatuan dengan Allah.
Dengan
demikian, nyata bahwa pemahaman orang Jawa dalam manunggaling kawula Gusti mendapat terang Injil bahwa Allah yang
dihadirkan dalam pribadi Yesus Kristus telah lebih dahulu mendatangi dan
bersatu dengan manusia, bukan sebaliknya. Apa yang menjadi tugas manusia
hanyalah menyiapkan diri baik secara lahiriah maupun batiniah melalui sikap,
tutur kata, dan perbuatan, terus-menerus mengembangkan hidup pribadi dan sosial
dengan baik, menjadi saksi Kristus di dalam masyarakat dengan terlibat secara
aktif dalam persoalan-persoalan yang terjadi di dalam masyarakat. Inilah laku
yang hendaknya menjadi gaya hidup orang-orang Katolik kejawen. Ini pulalah yang
dinamakan mengikuti Kristus, yaitu mengikuti cara hidup-Nya,
pilihan-pilihan-Nya, dan ajaran-ajaran-Nya.
Kebanyakan
bagi orang Kristen Kejawen, Yesus Kristus adalah Gusti, menurut istilah orang Jawa, yang menghadirkan Allah yang
mahakuasa dalam diri-Nya sehingga Allah yang Ia sebut Bapa itu menjadi semakin
dekat karena telah lebih dahulu berinisiatif datang kepada manusia dan bersatu
secara nyata dengan manusia melalui Tubuh dan Darah Yesus sendiri yang telah
menjadi santapan jiwa manusia dalam Perjanuan Kudus.
Kerinduan
manusia untuk berjumpa dan bersatu dengan Allah juga dialami bangsa Israel pada
masa Perjanjian Lama. Dalam Kitab kejadian 1:1-2:4, Allah ditampilkan sebagai
Sang Pencipta langit dan bumi dan segala isinya, termasuk manusia. Di sini
Allah menyediakan segala sesuatunya bagi manusia untuk dikuasai (Kej 1:28).
Manusia sejak awal telah dilibatkan Allah dalam penyelenggaraan ciptaan. Hal
ini berarti bahwa sejak awal sudah ada inisiatif yang datang dari Allah untuk
menyapa dan melibatkan manusia dalam karya-karya-Nya. Begitu pula dalam
pengalaman Abraham, kita bisa melihat bahwa Allah telah lebih dahulu mengadakan
perjanjian untuk menjadikan Abraham sebagai bapa segala bangsa (Kej 17:4-5),
sehingga ada juga sebagian orang Jawa yang menggambarkan Yesus Kristus Sang
Gusti yang Menghadirkan Allah Mahakuasa berjumpa dengan manusia.
Karena
masyarakan Jawa yang sangat akrab dengan pewayangan maka bagi sebagian
orang-orang Kristen Jawa, sosok Yesus juga terkadang digambarkan dalam bentuk
cerita pewayangan dan yang menjadi tokoh yang mirip dengan Yesus adalah Semar. Ia seorang dewa dengan nama asli
Sanghyang Ismoyo yang menjelma menjadi manusia dan berperan sebagai punakawan
Pandawa (yang mirip dengan kisah inkarnasi Yesus Kristus), ataukah hanya
kebetulan saja saya belum tahu pasti kebenarannya.
Meskipun
Semar dikisahkan sebagai jelmaan Dewa Ismoyo, dia digambarkan dalam wujud aneh
dan lucu dengan kedudukan hina hanya sebagai hamba para Pandawa. Kesan mendalam
terhadap sifat-sifat baik seperti pada diri Ki Lurah Semar itulah, yang agaknya
ikut mendasari mayoritas orang Kristen (Jawa) dalam mengenal sosok Yesus
Kristus. Orang-orang Jawa dapat dengan mudah menerima Yesus Kristus yang
mengajarkan cinta kasih, pengampunan, kepedulian terhadap sesama dan
ajaran-ajaran kemanusiaan universal lainnya. Meskipun, Yesus Kristus
digambarkan dengan wajah khas orang Barat dengan perawakan tinggi besar dan
kulit putih serta berambut gondrong adalah gambaran yang sudah telanjur melekat
di benak masyarakat, karena sejak masuk ke nusantara melalui
misionaris-misionaris Barat, citra Yesus ditampilkan dalam kebudayaan mereka.
Bila dikaitkan dengan periode jaman
akhir dan akhir jaman, maka orang-orang Kristen Jawa masih menganut tradisi
nenek moyang. Sehingga banyak dari mereka yang
menghubungkan Yesus Kristus dengan ramalan tentang kedatangan “Ratu
Adil”. Orang Jawa, pada umumnya sangat tidak asing dengan istilah istilah
seperti “Ratu Adil”, “Herucakra”,
“Zaman Edan” serta “Eling lan
Waspada”. Istilah istilah ini
merupakan kalimat-kalimat yang menggambarkan suatu kondisi mengenai zaman yang
akan semakin merosot dan suatu harapan mengenai datangnya penyelamat, pembebas
yang akan melaksanakan suatu tata pemerintahan yang adil di bumi pada umumnya
dan nusantara yang kita tempati pada saat ini khususnya, serta suatu sikap etis
dalam menghadapi kehidupan yang semakin jahat, agar tidak tersesat dalam
tantangan zaman yang semakin menyesatka. Pemahaman orang Kristen Jawa mengenai
suatu pengharapan Mesianis, didasarkan pada suatu ramalan yang tersusun dalam
kalimat sastra para pujangga dan raja ternama di zaman dahulu kala.
Ramalan Jayabaya adalah sebuah
ramalan tentang keadaan Nusantara di suatu masa di masa datang. Dimana dalam
tersebut dikatakan, akan datang satu masa penuh bencana. Gunung-gunung akan
meletus, bumi berguncang-guncang, laut dan sungai akan meluap. Ini akan menjadi
masa penuh penderitaan. Masa kesewenang-wenangan dan ketidakpedulian. Masa
orang-orang licik berkuasa, dan orang-orang baik akan tertindas. Tapi, setelah
masa yang paling berat itu, akan datang jaman baru, jaman yang penuh kemegahan dan
kemuliaan, suatu zaman yang disebut dengan Zaman Keemasan. Dan jaman baru itu
akan datang setelah datangnya sang Ratu Adil. Ramalan Jayabaya ditulis ratusan
tahun yang lalu, oleh seorang raja yang adil dan bijaksana di Kediri. Raja itu
bernama Prabu Jaya Baya (1135-1159). Ramalannya kelihatannya begitu mengena dan
bahkan masih diperhatikan banyak orang ratusan tahun setelah kematiannya.
Tetapi banyak para ahli meragukan
mengenai identitas kejawaan raja Jaya baya, sebagai suatu ramalan yang ditulis
oleh Jayabaya sendiri, mengingat isinya yang dipengaruhi oleh teologi Islam
padahal Jayabaya adalah Raja Kediri dimana pemerintahanya ada sebelum Islam
masuk Nusantara [1135-1157 szb]. Tetapi, dengan adanya konsep Ratu Adil inilah yang menjadi satu
alasan kuat yang memudahkan orang Jawa untuk menerima pewartaan Injil, dan
kemudian mereka mau menerima Yesus Kristus karena menantikan kedatangan Ratu
Adil sama seperti juga umat Kristen yang menantikan kedatangan Yesus Kristus
sang Juru Selamat yang akan datang untuk
kedua kalinya. Sebagaimana pengharapan orang-orang Kristen tentang Yesus
sebagai mesias, demikian juga orang-orang Kristen Jawa mengenai Ratu Adil yang
tercantum dalam buku Ramalan Raja Jayabaya tersebut.
Orang Kristen Jawa sampai dengan saat ini percaya bahwa Ratu Adil
yang dimaksud itu adalah Yesus Kristus itu sendiri. Hal ini dapat terlihat
karena tercantum dalam Kidung Pasamuwan Jawi No. 139: “Ratu Adil, Panetep
panata gami, kang mengku sajagad rat, Gustine pra umat” – “Ratu Adil, penentu
dan penata agama yang menguasai dunia, Gusti dari seluruh umat”. Tetapi banyak kalangan fundamentalis
Kristen yang tidak menyetujui dengan cara kekristenan yang dipahami oleh orang-orang Kristen Jawa seperti tersebut
diatas, karena menurut kalangan fundamentalis dalam pemahaman kekristenan yang
seperti ini terdapat sinkretisme agama dengan budaya, walaupun demikian harus
diakui dengan hadirnya sosok Ratu Adil ini
dapat memudahkan para orang-orang Kristen Jawa untuk memahami bagaimana Yesus
daripada memahami Yesus dengan keyahudiaan-Nya yang sudah tentu sangan berbeda
dengan budaya yang ada pada orang-orang Jawa Kristen.
Dalam kebudayaan Jawa sangat banyak gambaran-gambaran Yesus
Kristus ada dalam berbagai Versi dan pada saat saya mengikuti mata kuliah
Kristologi, dosen yang mengampu mata kuliah tersebut juga menunjukkan gambaran
Yesus dalam budaya Jawa yang sangan jauh berbeda dengan gambaran yang selama
ini saya lihat. Dimana dalam versi budaya Jawa tersebut Yesus diganbarkan dengan
perawakan yang kecil dengan ukuran pinggang yang juga dengan demikian Yesus
digambarkan memiliki tubuh yang sangat berbeda dengan gambaran Yesus yang
diberitakan oleh para misionaris-misionaris dari Barat.
Pertanyaan
Yesus kepada murid-muridNya, “Menurut kamu, siapakah Aku ini?” bagi saya
tetaplah aktual dan relevan untuk terus dijawab pada masa kini. Gambaran
tentang Yesus selalu berubah di setiap waktu. Usaha mengenal Yesus secara
pribadi menuntut pula usaha untuk mengenal diri saya: siapa saya, dari mana
saya berasal, dan di mana saya tinggal sekarang. Oleh karena itu, saya
merenungkan pertanyaan Yesus itu dalam kaitan dengan usaha pengenalan kembali
perjalanan hidup saya.Menurut saya pribadi apapun dan bagaimana pun cara kita
menggambarkan Yesus itu tidak ada salahnya. Itu semua tergantung kebudayaan apa
yang ada pada kita. Bila kita lebih mudah memahami Yesus dengan gambaran dan
konteks budaya yang ada pada kita maka hal ini tentulah tidak salah. Karena
apabila kita memahami Yesus dengan keyahudiaan-Nya tentulah kita akan cukup
banyak mengalami kebingungan karena terdapat kesenjangan budaya yang sangat
jauh dengan konteks budaya yang ada pada kita saat ini.
Sumber Pustaka
Banawiratma, J.B. Yesus Sang Guru: Pertemuan Kejawen dengan
Injil .Yogyakarta:
Kanisius,
1997
Lembaga
Alkitab Indonesia. Alkitab. Jakarta:
Lembaga Alkitab Indonesia, 2009
Noorsena,
B. Menyongsong Sang Ratu Adil.
Yogyakarta: Yayasan Andi, 2003
Post a Comment for "Yesus Dalam Pandangan Budaya Jawa"