Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Tuhan Dalam Agama Batak Toba

I.       Pendahuluan

Dalam tradisi Batak Toba, orang Batak Kuno mengenal Allah yang mereka yakini menciptakan dunia ini yang disebut dengan “Debata Mula Jadi Na Bolon”. Dalam tradisi orang Batak Kuno mereka mempercayai tradisi penciptaan yang merupakan kuasa dari pada Debata Mula Jadi Na Bolon. Pengertian penciptaan menurut suku Batak purba adalah pengaturan oleh pengada ilahi atas apa yang sudah ada sebelumnya tetapi berbentuk chaos saja. Dalam penciptaan usia ciptaan identik dengan orde (adat). Selagi ada adat maka ciptaan dapat bertahan dan sekedar adat dilalap chaos, maka eksistensi ciptaan terancam. Ketaatan kepada adat menyangkut ketaatan keterciptaan terhadap pencipta yang menanamkan adat sebagai kehadiran ilahi relatif dan daya mengada sehinga sikap terhadapnya menyangkut masalah ada atau binasa.

Yang menjadi persoalan adalah apakah konsep Ketuhanan dalam tradisi Batak tersebut murni salah, atau hanya langkah keselamatan di sejarah Batak?. Apakah kepercayaan Batak Kuno tersebut tidak dilengkapi dengan sosok penyelamat seperti Yesus Kristus?.  Untuk itu penulis mencoba memaparkan sejauh mana pemahaman orang Batak Kuno memahami Mula Jadi Na Bolon dalam kehidupannya yang dipercayai sebagai Allah yang Esa. Dalam tulisan ini juga penulis akan membahas terlebih dahulu perbedaan antara Jahweh dan Elohim dan juga mengapa Yesus menyebut Tuhan dengan Allah Bapa.

II.    Identitas Ketuhanan Dalam Alkitab

Hakikat Tuhan menurut Alkitab adalah menjadi sekutu umat-Nya, seperti hakikat manusia adalah menjadi sekutu Allah. Hakikat Tuhan Allah diungkapkan dan dinyatakan dalam Firman dan karya-Nya. Hakikat Tuhan Allah mejadi sekutu umat-Nya, dinyatakan dan diperkenalkan dengan bermacam-macam cara, umpanya: sebagai Yang Maha Tinggi, Yang Kudus, Yang Esa, dll.

Dalam PL Allah memperkenalkan diri-Nya kepada Musa sewaktu di padang gurun pada saat Musa menggembalakan domba-dombanya. Allah memperkenalkan diri-Nya dengan nama JAHWEH kepada Musa, -yang dalam LAI diterjemahkan sebagai TUHAN. Akan tetapi dalam Tradisi Naskah pentateuch diketahui bahwa nama itu baru dikenal Musa sebagai TUHAN Allah yang membawa umat Israel keluar dari Mesir (Kel 20:2). Petunjuk lain bahwa nama itu baru dikenal pada zaman Musa adalah fakta bahwa Musa sebelumnya hanya mengenal nama “ELOHIM” dan nama YAHWEH baru dikenal Musa (Kel 3:13-14a. Akan tetapi yang menjadi pertanyaan adalah kalau nama Yahweh baru diperkenalkan kepada Musa, mengapa sebelum Musa nama Jahweh sudah digunakan dalam Alkitab? Misalnya dalam Kel 6:1-2.

Dari studi tentang naskah tertua ditemukan bahwa nama JAHWEH itu dinyatakan kepada Musa agar nama YAHWEH tidak eksklusif seakan-akan hanya milik Israel, maka nama diri JAHWEH kemudian digunakan untuk menggantikan nama banyak diri “ELOHIM” agar Allah juga Allah keturunan Abraham dan umat manusia. Nama Elohim banyak terdapat dalam PL dalam pengertian sama dalam “ El ” tetapi biasanya untuk menyebut nama diri dalam bentuk jamak (Kej 1:26). Nama Elohim menekankan bahwa Allah pencipta adalah Tuhan yang mutlak atas ciptan dan sejarah. Itulah sebabnya ayat pembuka peciptaan memakai nama ini[1].

Dalam PB Yesus menyebut Tuhan dengan “Allah Bapa”. Dia selalu mengarahkan perhatian kepada Allah Bapa sebagai yang mengutus Dia dan dari siapa Dia memperoleh kekuasaan-Nya. Dengan demikian ditegaskan keesaan antara Allah Bapa dengan Yesus Kristus : Allah adalah Allah yang Tri Tunggal. Karenanya Yesus dapat berkata” barang siapa telah melihat Aku dia telah melihat Bapa (Yoh 14:9).

Demikian juga dalam tradisi batak toba, mereka juga mengenal Allah yang mereka yakini menciptakan dunia ini yang disebut dengan “Debata Mula Jadi Na Bolon”. Pengertian penciptaan menurut suku Batak purba adalah pengaturan oleh pengada ilahi atas apa yang sudah ada sebelumnya tetapi berbentuk chaos saja. Dalam penciptaan usia ciptaan identik dengan orde (adat). Selagi ada adat maka ciptaan dapat bertahan dan sekedar adat dilalap chaos, maka eksistensi ciptaan terancam. Ketaatan kepada adat menyangkut ketaatan keterciptaan terhadap pencipta yang menanamkan adat sebagai kehadiran ilahi relatif dan daya mengada sehinga sikap terhadapnya menyangkut masalah ada atau binasa.

Yang menjadi persoalan adalah apakah konsep Ketuhanan dalam tradisi Batak tersebut murni salah, atau hanya langkah keselamatan di sejarah Batak?. Apakah kepercayaan Batak Kuno tersebut tidak dilengkapi dengan sosok penyelamat seperti Yesus Kristus?.  Untuk itu penulis mencoba memaparkan sejauh mana pemahaman orang Batak Kuno memahami Mula Jadi Na Bolon dalam kehidupannya yang dipercayai sebagai Allah yang Esa.

III. Identitas Ketuhanan Dalam Tradisi Batak Toba

            Latar Belakang Pemakaian Istilah “Debata Mula Jadi Na Bolon”

Sebelum masuknya pengaruh agama Hindu, Islam, Kekristenan ke tanah Batak orang Batak pada umumnya belum mengenal istilah “Dewa-dewa”. Kepercayaan orang Batak dahulu adalah kepercayaan kepada arwah leluhur serta kepercayaan kepada benda-benda mati. Sebelum orang Batak mengenal tokoh dewa-dewa orang India, istilah “Debata” sombaon yang paling besar orang Batak Kuno disebut “Ompu na Bolon” (kakek atau nenek yang maha besar). Ompu Na Bolon pada awalnya bukan salah satu dewa atau Tuhan tetapi adalah yang telah dahulu dilahirkan sebagai nenek moyang orang Batak yang memiliki kemampuan yang luar biasa dan menciptakan adat bagi manusia. Di samping itu, di dalam konteks keagamaan, ompu(ng) digunakan untuk menandakan suatu penghormatan kudus. Ph. O.L. Tobing mengatakan bahwa sebutan penghormatan kudus melalui panggilan ompung tersebut juga sebagai gelar yang harus disampaikan oleh setiap orang yang ingin memuja-Nya. Dewa-dewa dan mahluk-mahluk gaib terlibat di dalamnya dan tidak pandang buluh untuk menyebut/memanggil Mula Jadi Na Bolon sebagi ompung[2]  

Tetapi setelah masuknya kepercayaan dan istilah luar khususnya agama Hindu, Ompu Na Bolon ini dijadikan sebagai dewa orang Batak. Untuk menekankan bahwa “Ompu Na Bolon” ini sebagi kakek/nenek yang terdahulu yang mempunyai kekuatan yang luar biasa dan yang menciptakan adat bagi manusia, ompu na bolon menjadi “Mula jadi na Bolon” atau “Tuan Mula Jadi Na Bolon” karena kata “Tuan, Mula, Jadi” yang berarti dihormati. Selanjutnya untuk menegaskan pendewaan bahwa Ompu Na Bolon atau Mula Jadi Na Bolon adalah salah satu dewa terbesar orang Batak ditambahkanlah di depan Nabolon itu kata “Debata” yang berarti dewa sehingga menjadi “Debata Mula Jadi Nabolon”. Jadi jelaslah bahwa istilah “Debata” pada awalnya hanya dipakai untuk penegasan bahwa pribadi yang disembah masuk dalam golongan para dewa.

            Pemahaman Agama Kuno Batak Toba Mengenai Debata Mula Jadi Na Bolon

Agama suku Batak  Kuno mengenal atau mempercayai bahwa Debata (Tuhan) disebut dengan Mula Jadi Na Bolon (asal kejadian yang agung atau besar). Kepercayaan kepada Mula Jadi Na Bolon merupakan agama suku, yaitu suku Batak khususnya batak Toba[3]. Pandangan Batak kuno tentang “Tuhan” bersumber dari nilai yang terdapat dari mitologi si boru deak parujar. Tanah Batak indah dan mempesona seperti “sepotong surga” yang jatuh dari kayangan. Hal inilah yang mendorong nenek moyang orang batak untuk merenung dan bertanya, bagaimana ini terjadi dan siapa yang menjadikannya?. Untuk memperoleh jawaban itu mereka mencoba berkomunikasi dengan alam untuk mengetahui hakikat alam itu sendiri. Sebelumnya mereka berpikir bahwa manusialah sebagai titik pusat kegiatan. Namun manusia seperti halnya hewan dan tumbuh-tumbuhan juga mengalami suka dan duka kehidupan. Dengan demikian sebagi suatu mahluk, manusia adalah mahluk yang lemah. Manusia tidak ada artinya jika dibandingkan Kuasa Agung sumber dari segala sesuatu ada[4]. Oleh karena itu masyarakat Batak Kuno mempercayai dan memahami bahwa Mula Jadi Na Bolon sebagai pemula terbesar dari permulaan. Mula jadi merupakan gabungan kata “mula” dan”jadi”. “Mula” berarti awal atau permulan dan “jadi” yang berarti akan menjadi. Gabungan dari kedua kata tersebut berarti “permulaan untuk menjadi” atau “permulaan dari asal-usul”. Dengan demikian, Mula Jadi Na Bolon diartikan menjadi “pencipta”. Mula Jadi Na Bolon diyakini sebagai pencipta segala sesuatu dan awal dari segala permulaan. Dialah yang menyebabkan terjadinya segala sesuatu dan oleh karena dialah segala sesuatu itu ada[5].

Agama batak kuno mempercayai bahwa Mula Jadi Na Bolon adalah pencipta alam semesta, awal dari segala sesuatu dan dari padanyalah kekuatan dan kekuasaan itu. Dialah yang menguasai alam semesta dengan menciptakan tiga ruang kosmis, Banua Ginjang, Banua Tonga, Banua Toru[6]

Mula Jadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung serta kekal selama-lamanya. Mempunyai kuasa Maha Agung, tidak dapat dibandingkan, serta sumber dari segala yang ada baik alam spritual mupun alam material. Mula Jadi Na Bolon itu ada, tetapi tiadak dapat dilihat. Dia dapat dihubungi dan dijumpai dalam alam spritual. Dia dapat disembah dengan alas tangan yaitu dengan dupa, air suci dan sesajen lainnya.

Mula Jadi Na Bolon mempunyai kuasa menghukum dan kuasa mengampuni, mempunyai kuasa kasih dan juga mempuyai kuasa murka. Kuasa Mula Jadi Na Bolon terpancar dalam wujud Debata Na Tolu. Wujud pancaran kuasa Mula Jadi Na Bolon mengenai hahomion (kebijakan) adalah Debata Batara Guru. Demikian juga Debata Sori adalah wujud pancaran mula jadi na bolon mengenai hamalimon (kesucian) dan takdir. Wujud pancaran kuasa ketiga mengenai kekuatan serta kharisma dari Mula Jadi Na Bolon adalah debata Mangala Bulan.

Jadi agama Batak Kuno memahami bahwa Mula Jadi Na Bolon adalah pencipta dari segala sesuatu atau mula dari segala yang ada. Melalui Debata Na Tolu yaitu Debata Batara Guru, Debata Sori, Dan Debata Mangala Bulan, kekuasaan dan kekuatan Mula Jadi Na Bolon terpancar. Dapat dikatakan bahwa ketiga Debata tersebut adalah totalitas dari Mula Jadi Na Bolon atau tidak dapat terlepas dari kuasa Mula Jadi Na Bolon.

            Mula Jadi Na Bolon Yang Imanen Dan Transenden

*   Transenden

Dalam pemahaman agama Batak Kuno Mula Jadi Na Bolon adalah yang memiliki kebenaran yang suci (hamalimon) yang terpancar dalam Debata Sori. Oleh karena itu dia tidak dapat disamakan dengan alam semesta. Dialah yang mencipta dan yang mempunyai otoritas atas seluruh ciptaan sehingga ada sifat transenden antara Dia dengan ciptaan. Debata tertinggi (Mula Jadi Na Bolon) yang transenden ditandai oleh keabadian-Nya, sebab keabadianNya sebagai pencipta tidak terbatas terhadap waktu. Seluruh ciptaan tergantung kepadaNya, sebab Dia adalah Pencipta Yang Maha Kuasa. Juga istilah ompu(ng) menandai adanya sifat transenden Debata Tertinggi, untuk menyiratkan suatu subjek kepada kuasa dan otoritas dewa tertinggi. Transenden Mula Jadi Na Bolon dapat juga dilihat dari Debata Na Tolu yang mempunyai tugas dan pekerjaan masing-masing yang tidak dapat dibedakan dengan Mula Jadi Na Bolon. Di dalam hubunganNya dengan alam semesta, Tuhan memanggilnya ke dalam keberadaan dengan aktivitas serta kreativitasnya. Sifat transendennya meliputi tiga benua, yakni benua atas, tengah dan bawah.

*   Immanen

Dalam agama Batak Kuno Toba, immanen dewa yang tinggi dicerminkan oleh silsilah kehidupan orang Batak yang dilihat sebagai keberadaan alam semesta yaitu lambang kreatifitas yang sudah ditakdirkan Tuhan. Kekuasaan, penghakiman dari dewa tertinggi menyebabkan berbagai kehidupan yang dinamis. Peran penting dimainkan oleh peran Debata Na Tolu yang merupakan keterlibatan dari Mula Jadi Na Bolon. Sifat imanennya dicerminkan melalui tondi (roh). Setiap individu mempunyi tondi. Suatu misteri yang paling dalam mengenai tondi adalah dalam upacara agama dan pemujaan terhadap dewa. Tondi tidak dapat terpisah dari hidup manusia. Tondi adalah yang mengendalikan manusia baik dalam keadaan sakit, baik dalam keadaan sehat dan juga dalam setiap kehidupannya[7]. Tondi orang-orang hidup, orang-orang meninggal dan mereka yang akan lahir adalah bersama dewata tertinggi melalui pancaran kuasa Mula Jadi Na Bolon terhadap Batara Guru sebagai “pandapotan ni tondi”, berada dalam semua mahluk. Melalui Batara Guru sebagai sumber roh manusia, melekat dengan segala sesuatu atau hadir di segala tempat.

Pemahaman ini juga dapat dilihat dalam umpasa Batak yang mengatakan:

“Manjangkit ma Sirungguk, pinajangkit ni Sitata, Molo disi hita juguk, disi do namartua Debata” [Tanaman si Rungguk menjalar atas topangan tanaman Sitata, dimana kita duduk (berada), maka disitu juga Allah ada]

Melalui perumpamaan ini menandakan bahwa orang Batak sudah mengenal Tuhan yang melekat, dekat, hadir di mana-mana. Kehadiran Tuhan itu mendorong manusia untuk menekuni agamanya maupun budayanya. Perumpamaan Batak ini menggambarkan bahwa Allah yang dikenal suku Batak itu adalah Allah Pencipta, Pelindung dan Pemberi Berkat dan pengenalan Allah ini juga tercermin dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini dapat dilihat dalam perumpamaan di atas yang selalu di ucapkan apabila ada pertemuan-pertemuan[8].

2.3. Kesamaan Konsep Ketuhanan Dalam Tradisi Batak Kuno Dengan Konsep Kekristenan

Setelah penulis membahas tentang Mula Jadi Na Bolon, maka penulis melihat ada nilai-nilai tertentu yang hampir sama konsepnya dengan nilai kekristenan. Misalnya tentang konsep Allah Yang Esa juga dijumpai dalam konsep kepercayaan Batak Kuno mengenai Mula Jadi Na Bolon. Kekafiran orang Batak adalah pelopor kepada Kekristenan, preparatio evnggelica ini sering kali ditekankan. Barang kali bisa dikatakan ideologi kekafiran orang Batak sangatlah dekat kepada dogma agama Kristen. Sebab agamanya menyatakan kesucian ibadahnya. Hutagalung, menyimpulkan bahwa kehidupan masysarakat Batak Purba telah memiliki suatu sifat khas yang mirip dengan agama Kristen, suatu sifat yang paling kena apabila dipahami sebagai takut kepada Allah. Tetapi persiapan kepada agama Kristen tidak hanya kelihatan dalam ibadat, melainkan juga dalam perilaku[9]. Warneck juga memberi kesimpulan bahwa suku Batak di zaman keberhalaan sudah percaya kepada Allah Yang Esa, yang disebut Mula Jadi Na Bolon yang menjadi awal dari segala yang ada, dialah yang Maha Tinggi, Allah yang oleh suku Batak dipercayai sebagai Allah dari segala ilah yang menjadikan Langit, Bumi dan segala isinya yang secara terus-menerus memelihara hidup ini[10].

Penulis beranggaban bahwa agama pra-Kristen tidaklah murni salah, akan tetapi awalnya tidak dilengkapi dengan nilai-nilai kekristenan karena banyak konsep-konsep dalam keristenan identik dengan Agama Batak Kuno. Hal ini juga yang memudahkan orang –orang Batak lebih mudah menerima agama kekristenan dari pada suku-suku lain karena ada kemiripan konsep-konsep mengenai Ketuhanan. Sehingga para missioner dahulu dengan mudah mengkontekstualisasikan konsep Kekristenan kepada agama Batak Kuno.

III.  Kesimpulan

  1. Pemakaian JAHWEH dalam PL  adalah untuk menjelaskan bahwa Tuhan itu adalah Allah untuk semua bangsa dan menghindari bahaya Eksklusivisme bahwa Allah itu hanya Allah Israel saja. ELOHIM digunakan untuk menekankan bahwa Allah pencipta adalah Tuhan yang mutlak atas ciptaan dan sejarah
  2. Yesus menyebut “Allah Bapa” untuk menyebut Tuhan adalah untuk menekankan bahwa Allah yang mengutus dan memberi kuasa kepada-Nya dan juga menekankan keesaan antara Allah dengan Yesus.
  3. Bagi orang Batak Kuno bahwa agama ialah menjalankan tradisi nenek moyang dan tradisi inilah yang menguasai seluruh kehidupan mereka.
  4. Agama Batak Kuno memahami bahwa Mula Jadi Na Bolon adalah pencipta segala sesuatu dan awal dari segala permulaan.
  5. Agama Batak Kuno mempercayai bahwa Mula Jadi Na Bolon adalah Tuhan Yang Maha Esa yang tidak bermula dan tidak berujung serta kekal selama-lamanya
  6. Keristenan memahami Allah adalah transenden yang juga terdapat dalam pemahaman agama Batak Kuno mengenai Debata Mula Jadi Na Bolon yang transenden.

 


.DAFTAR PUSTAKA 

Gultom, DJ. Rajamarpodang, 1992     Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, Medan: C.V. Armanda

Hamidy, B. Harahap & H. M Siahaan,1987    Orientasi Nilai-nilai Budaya Batak; Suatu Pendekatan Terhadap Perilaku Batak Toba dan Angkola Mandailing, Jakarta: Sanggar Willem Iskandar 

Herliyanto, 2002    Siapakah Yang Bernama Allah Itu?,  Jakarta: BPK-GM

Lumban Tobing Andar, 1996    Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, Jakarta: BPK-GM

Lumban Tobing, Darwin, 1998     Gerak Jiwa dan Tortor Batak Pada Pesta Gereja”, (Dalam Pemikiran Tentang Batak Jubileum 125 tahun HKBP), disunting B.A. Simanjuntak, Medan: universitas HKBP Nomensen    

L. Tobing, Ph.O, 1963       The Sructure of the Toba Batak Belief in the High God, Amsterdam: South and South East Celebes Institute for Culture

Schreiner, Lothar, 2003         Adat dan Injil, Jakarta: BPK-GM

Sinaga, Anicetus B, The Toba Batak High God Transendence and Immanence, St. Augustin West Germany, Antropos Institue, vol 38

 


[1] Herliyanto, Siapakah yang bernama Allah itu?, (Jakarta: BPK-GM, 2002), hal. 16

[2] Ph.O.L. Tobing, The Structure of the Toba Batak Belief in the High God, (Amsterdam: South and South East Celebes Institute for Culture, 1963), hal 35

[3] Basyral Hamidy Harahap dan Hotman M Siahaan, Orientasi nilai-nilai Budaya Batak; suatu pendekatan terhadap perilaku batak toba danangkola mandailing, ( Jakarta: Sanggar Willem Iskandar,1987), hal 62

[4] DJ. Gultom Rajamarpodang, Dalihan Na Tolu Nilai Budaya Suku Batak, (Medan: C.V. Armanda, 1992), hal. 186.

[5] Ibid, hal 48

[6] Anicetus B. Sinaga, The Toba Batak High God Transendence and Immanence, (St. Augustin West Germany, Antropos Institue, vol 38), hal 148

[7] Anicetus B. Sinaga,Op.Cit, hal 107

[8] Darwin Lumban Tobing, “Gerak Jiwa dan Tortor Batak Pada Pesta Gereja”, (Dalam Pemikiran Tentang Batak Jubileum 125 tahun HKBP), disunting B.A. Simanjuntak, (Medan: universitas HKBP Nomensen, 1998), hal 136

[9] Lothar schreiner, Adat Dan Injil, ( Jakarta: BPK-GM, 2003), hal 153

[10] Andar Lumban Tobing, Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak, (Jakarta: BPK-GM, 1996), hal. 3-4

Pdt. Erik Sunando Sirait
Pdt. Erik Sunando Sirait Anak Pertama dari 7 bersaudara, ibu yang melahirkan boru Simalango (Parna), Istri Lilis Suganda Lumban Gaol dan sudah dikaruniakan 3 Putri yang cantik Sheena Syelomitha Sirait Serefina Faith Sirait Shiloh Hope Sirait

Post a Comment for "Tuhan Dalam Agama Batak Toba"