Dogmatika Tentang Penyataan Allah (Revalation)
I.
Pendahuluan
Syarat
yang harus dipenuhi sebelum melakukan, mengikuti atau memasuki percakapan
tentang pengetahuan akan Allah adalah keyakinan bahwa Allah itu ada. “Sebab
barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada” (Ibrani
11:6) Keyakinan akan keberadaan Allah itu, bukan semata-mata pendapat bahwa ada
sesuatu, suatu ide atau gagasan, suatu kuasa atau suatu kecenderungan terarah,
yang dapat disebut sebagai Allah, tapi sungguh ada suatu Pribadi yang
keberadaan dan kesadaran-Nya bersumber pada diri-Nya sendiri, suatu Keberadaan
berpribadi yang merupakan asal mula dari segala sesuatu, yang jauh melampaui
segala makhluk ciptaan, akan tetapi yang pada saat yang sama hadir terlibat
dalam segala bagian dari ciptaan itu. Apakah keberadaan Allah itu masuk akal?
Bagaimana dapat mengetahui bahwa Allah itu ada? Mungkinkah keberadaan Allah
dibuktikan secara akali tanpa sedikitpun ruang bagi keraguan? Atau, pada
akhirnya hal tersebut hanyalah masalah iman secara pribadi? Dan apabila kita
percaya pada-Nya, bukti-bukti apa yang dapat diberikan kepada seseorang yang
tidak percaya? Apabila keberadaan Allah diragu-ragukan atau tidak dapat
dibuktikan, maka semua percakapan tentang pengetahuan akan Allah sepertinya
menjadi tidak diperlukan lagi.
Penyangkalan Atas Keberadaan Allah. Pertanyaan “Adakah Allah itu?” merupakan pertanyaan penting bagi para skeptis dan ateis.Para skeptis adalah orang-orang yang sangsi atau ragu akan adanya Allah, berdasarkan pertimbangan-pertimangan logika atau intelektual mereka. Mereka memiliki berbagai ragam pertanyaan sesuai dengan macam- macam bentuk pergumulan orang yang hidup di bumi ini. “Bila Allah ada, mengapa Dia tidak menunjukkan diriNya kepada kita secara nyata bahwa Dia ada?[1]
II.
Pembahasan
Dalam zaman ilmu pengetahuan dan teknologi serta penelitian yang
canggih ini, bagaimana kita dapat mempercayai sesuatu yang tidak dapat kita
lihat?”; “Bila saya melihat semua penderitaan yang dialami manusia di seluruh
dunia, bagaimana saya dapat percaya bahwa Allah dapat berdiam diri pada saat
manusia hidup sengsara dalam keadaan yang tak layak bagi seekor anjing
sekalipun?”; “Mengapa Allah yang baik membiarkan sahabat saya – seorang yang
mengasihi sesame manusia dan kehidupan – meninggal pada usia muda?”; “Bila
Allah berkuasa, mengapa kita mengalami begitu banyak bencana alam seperti gempa
bumi, banjir, badai dan angina rebut?”; “Saya tidak merasakan Allah. Segala
sesuatu yang telah saya capai, saya lakukan dengan kekuatan sendiri. Saya tidak
membutuhkan tongkat penopang yang bernama Allah.” Dapat dimengerti bila manusia
menjadi ragu-ragu terhadap keberadaan Allah yang tak nampak dan tidak mau
tampil dalam forum terbuka untuk menjawab kritik-kritik yang ditujukan
kepada-Nya dan pertanyaan-pertanyaan tentang kebradaan-Nya. Karena
alasan-alasan ini dan lainnya, mereka yang ragu-ragu membutuhkan bukti-bukti
yang kuat dan dapat dipercaya bila mereka memikirkan dengan serius tentang
kemungkinan keberadaan Allah. Mereka perlu melihat bahwa orang-orang yang
percaya kepada Allah bersikap demikian dengan alasan dan pertimbangan yang
baik.[2]
Mereka perlu
menangkap dengan jelas pendekatan Alkitab. Mereka perlu melihat bahwa
mengetahui keberadaan Allah sebenarnya bukanlah sesuatu yang mustahil.Terlebih
lagi bagi para ateis, yaitu orang-orang yang mengingkari adanya Allah. Mereka
mengejek orang-orang beriman untuk membuktikan adanya Allah. Mula-mula ateisme
hanya mengingkari adanya suatu pribadi yang disebut Allah, tetapi masih tetap
mengakui adanya kuasa-kuasa yang supranatural. Tetapi ateisme zaman modern
mengingkari pula adanya suatu yang supranatural. Segala sesuatu dapat
diterangkan secara psikologis atau secara materialistis. Biasanya ateis dapat
dibedakan ke dalam dua jenis, yaitu ateis teoritis dan ateis praktis.[3]
Ateis Teoritis,
Ateis teoritis adalah ateis yang bersifat intelektual dan mendasarkan
penyangkalan mereka atas suatu proses pemikiran berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan logika atau intelek (argument rasional). Mereka
berusaha untuk membuktikan melalyui suatu cara yang menurut mereka adalah
argument rasional yang konklusif, bahwa Allah tidak ada. Bagi mereka keberadaan
Allah adalah mustahil – tidak masuk akal mereka. Prof. Flint membedakan tiga
jenis ateisme teoritis, yaitu: (1) ateisme dogmatis yang sama sekali menolak
adanya Keberadaan yang Ilahi; (2) ateisme skeptis, yang meragukan kemampuan
akan manusia dalam menentukan apakah tuhan ada atau tidak, dan (3) ateisme
kristis, yang berpendapat bahwa tidak ada bukti yang dapat sah tentang
keberadaan Allah.Ateis Praktis,Ateis praktis
yaitu mereka yang meskipun mengatakan bahwa “Allah ada”, tapi mereka hidup
mengabaikan Allah; dalam hidup sehariharinya mereka tidak mengindahkan Tuhan;
hidup seolah-olah Tuhan tidak ada. Baik Alkitab maupun pengalaman mengakui
adanya ateis praktis. Mazmur 10:4b menyebut orang fasik beranggapan: “Tidak ada
Allah! Itulah seluruh pikirannya.” Mazmur 14:1 juga berkata: “Orang bebal
berkata dalam hatinya: Tidak ada Allah.
Paulus mengingatkan jemaat di efesus bahwa keadaan mereka dulu
adalah “tanpa Allah di dalam dunia” (Efesus 2:12). Pengalaman juga memberi
bukti berlimpah tentang keberadaan ateis praktis dalam dunia ini. Mereka
tidaklah harus merupakan orang-orang yang bercitra buruk di mata orang lain,
tetapi mungkin mereka malah tergolong orang-orang baik di mata dunia, walaupun
mereka tidak acuh terhadap hal-hal rohani. Orang-orang semacam itu mungkin
sekali sadar akan kenyataan bahwa mereka tidak harmonis dengan Tuhan, takut
untuk bertemu Dia, dan mencoba melupakan Tuhan. Mereka tampaknya secara
tersembunyi senang memamerkan keateisan mereka ketika hidup mereka berjalan
lancer, tetapi kemudian mereka bertelut berdoa manakala hidup mereka tiba-tiba
terancam bahaya. Memang Alkitab berkata betapa sukarnya manusia mempercayai
sesuatu yang tidak dapat ia lihat dan sentuh. 1 Kor 2:14 berkata: “Tetapi
manusia duniawi tidak menerima apa yang berasal dari roh Allah, karena hal itu
baginya adalah suatu kebodohan; dan ia tidak dapat memahaminya, sebab hal itu
hanya dapat dinilai secara rohani.
Ateisme lahir dari
keadaan moral manusia yang telah sesat dan dari keinginan manusia untuk
menghindari Allah. Ini terjadi sebagai akibat tindakan sengaja membutakan diri,
menindas hati nurani yang paling dasar dalam diri manusia, kerinduan terdalam
jiwa, aspirasi tertinggi roh manusia, dan kerinduan hati untuk menggapai
Keberadaan yang lebih tinggi dari dirnya sendiri. Mengenai para skeptis dan
ateis ini, Alkitab dengan tegas berkata bahwa mereka adalah “bebal” – bodoh
(Maz 14:1). Alkitab juga berkata bahwa mereka buta karena dibutakan oleh iblis:
“Jangan hidup lagi sama seperti orang-orang yang tidak mengenal Allah dengan
pikirannya yang sia-sia dan pengertiannya yang gelap, jauh dari hidup
persekutuan dengan Allah, karena kebodohan yang ada di dalam mereka dank arena
kedegilan hati mereka. Perasaan mereka telah tumpul …” (Efesus 4:17, 18); “…
mereka, yang akan binasa, yaitu orang-orang yang tidak percaya, yang pikirannya
telah dibutakan oleh ilah zaman ini …” (2 Korintus 4:4).
Argumen/Bukti/Kaidah Tentang Keberadaan Allah
Adanya kaum ateis menyebabkan munculnya apologetika yaitu pembelaan
akan kepercayaan bahwa Allah benar-benar ada dan masuk akal atau berusaha
menangkis serangan-serangan dan pandangan-pandangan yang berusaha melemahkan
kepercayaan. Mereka menggunakan semesta alam untuk menjadi argument yang
membuktikan keberadaan Allah. Mereka juga menggunakan hukum sebab-akibat dan
hati sanubari atau kesadaran batin manusia untuk membenarkan keberadaan Allah.
Argumen-argumen rasional tertentu tentang keberadaan Allah dikembangkan dan
memperoleh dasar pijakan dalam teologi terutama melalui pengaruh Wolf.[4]
Sebagian dari
argumen-argumen pada hakikatnya dikemukakan oleh Plato, Aristoteles,
dan sebagian lain ditambahkan dalam zaman modern oleh para mahasiswa Filsafat
Agama. Beberapa argument/bukti umum tersebut adalah:
1.
Argumen/Bukti
Sejarah (Historis) dan Etnologis Pada zaman dan segala suku dan bangsa ada
kepercayaan akan Allah; ada semacam perasaan tentang yang ilahi, yang terungkap
dalam suatu kultus eksternal. Manusia di mana-mana dilahirkan dengan kepercayaan
kepada suatu Mahluk supra-alami. Setiap suku dan bangsa tahu, bahwa ada suatu
Mahluk demikian sebagai yang mencipta dan mengendalikan. Karena gejala ini
universal, tentunya ia adalah bagian dari sifat dasar manusia. Dan apabila
sifat manusia secara wajar menjurus kepada suatu ibadah religius, gejala ini
hanya dapat dijelaskan dengan adanya suatu Keberadaan yang Maha Tinggi, yang
telah menjadikan manusia sebagai insane yang religius. Membantah argument ini,
dikemukakan bahwa gejala universal ini mungkin bersumber pada kesalahan atau
kesalahfahaman dari salah satu nenek moyang awal manusia dan bahwa kultus
religius yang muncul paling kuat di antara suku-suku bangsa primitive dan
menghilang seiiring dengan kemajuan mereka dalam peradaban.
2.
Argumen/Bukti
Kausalitas (Kaidah Sebab-Akibat) atau kosmologis atau Alam Kausalitas berasal
dari kata bahasa latin causa yang berarti: penyebab, dasar. Argumen atau bukti
ini menyatakan bahwa segala hal ada yang menyebabkan. Bumi ini pasti ada
mulanya. Sesuatu pada suatu waktu pasti telah membuat alam semesta ini menjadi
ada. Alam semesta ini ada yang mengendalikan dan mengatur. Apabila semua
kepingan dari sebuah arloji diletakkan di dalam sebuah tabung. Lalu dikocok
pelahan-lahan selama jutaan tahun, maka kepingan-kepingan arloji itu tidak
mungkin secara kebetulan dapat terpasang tepat dan berperan semestinya. Begitu
pula satusatunya jawaban yang tepat atas soal adanya dunia ini, ialah adanya
satu Mahluk Mahatinggi yang disebut Allah. Pendapat ini dikemukakan oleh Thomas
Aquinas: “adanya rentetan sebab-musabab menunjukkan kepada adanya sebab
pertama, yaitu Tuhan Allah.”[5]
Dalam bukunya
Voltaire berkata:Bila sebuah jam membuktikan keberadaan seoran gpembuat jam,
namun alam semesta tidak dapat membuktikan keberadaan Arsiteknya yang agung,
maka saya bersedia disebut orang bodoh.” Argumen atau bukti ini menyatakan
bahwa Allah dengan terang kodrati dari akal budi berdasarkan alam semesta
dapat dikenal dengan pasti. Akan tetapi argument ini tidak memberi satu
keyakinan umum. Hume mempertanyakan hukum sebab-akibat itu sendiri, dan Kant
mengemukakan bahwa jika setiap benda yang ada harus mempunyai penyebab, ini
berlaku pula untuk Allah, dan akibatnya kita akan sampai pada mata rantai yang
tak pernah habis. Lagi pula argument itu tidak mengharuskan adanya satu
penyebab yang berpribadi dan mutlak, dan dengan demikian tidak dapat
membuktikan keberadaan Allah.
Argumen/Bukti Ontologis.
Ontologis berasal dari kata Yunani ontos yang berarti: yang sedang berada.
Argumen atau bukti ini menyatakan bahwa setiap orang mempunyai kesadaran atau
pengertian tentang Allah. Kesadaran ini tidak bisa dari dirinya sendiri tetapi
diciptakan oleh Allah. Keberadaan Allah tertulis dalam di dalam hati dan suara
hati manusia. Kaum ateis boleh jadi menuding suara hati mereka tidak
memberitahukan Allah kepada mereka. Orang jujur menemukan suara hatinya
membisikkan kepadanya, bahwa Allah ada. Pendapat ini misalnya dikemukakan
Plato. Berbagai bentuk argument ini telah dikemukakan oleh Anselmus, Descartes,
Samuel Clarke dll. Dalam bentuk yang paling sempurna argument ini disusun oleh
Anselmus. Kant menekankan bahwa argument ini tidak dapat dipertahankan, akan
tetapi Hegel menghargainya sebagai argument terpenting tentang keberadaan
Allah. Para Idealis modern menyarankan, lebih baik argument itu disusun
berbeda, yang oleh Hocking disebut sebagai “laporan pengalaman”. Berdasarkan
anjuran tadi kita dapat berkata, “Saya mempunyai ide tentang Allah, karena itu
saya mempunyai pengalaman tentang Allah”.[6]
Argumen/Bukti Teleologis (Kaidah Rencana dan Tujuan) Teleologis
berasal dari kata yunani telos yang berarti: tujuan. Argumen ini juga merupakan
argument sebab akibat. Argumen ini menyatakan bahwa hasil penelitian atas alam
semesta, juga penelitian atas benda-benda besar maupun kecilmenunjukkan, bahwa
masing-masing benda itu dirancang oleh suatu daya cipta yang begitu tinggi,
khusus untuk tujuan tertentu dalam kehidupan. Misalnya macam-macam jenis burung
dan ragamnya cara bela diri bintang lainnya bukanlah kejadian yang kebetulan,
tapi semuanya itu adalah hasil rencana dari Yang Mahatinggi. Segala sesuatu
mempunyai tujuan yang diberikan oleh kebijaksanaan Allah. Kant menegaskan bahwa
argument ini tidak dapat membuktikan keberadaan Allah, maupun keberadaan
seorang Pencipta, tetapi hanya membuktikan adanya seorang perancang agung yang
telah merancang dunia.[7]Hegel
menganggap argument ini sebagai suatu argument yang sah, namun bertaraf rendah.
Para teolog sosial pada masa kini menolak argument ini bersamaan dengan
argument-argumen lain sebagai sampah, tetapi kelompokAteis
Baru mempertahankannya.[8]
Argumen/Bukti Kaidah Moral. Argumen atau bukti moral (kesadaran
etis) menyatakan bahwa setiap manusia secara alamiah memiliki daya pikir dan
moral, yang menyatakan bahwa Sang Pencipta adalah pribadi yang hidup, bermoral
dan penuh hikmat. Ia suci adanya, menyukai segala yang benar, dan membenci
segala yang jahat. Itu sebabnya tiap orang mempunyai kesadaran yang diciptakan
oleh Allah untuk berbuat baik. Seringkali manusia menyangkal adanya keberadaan
Allah bukan karena mereka tidak menemukan Dia, tapi karena mereka takut
berhadapan dengan Dia dan takut mempertanggungjawabkan segala perbuatannya
kepada Dia setelah mati.
Ateisme adalah salah satu alat Iblis
menina-bobokkan manusia supaya tidak menerima keselamatan Allah. “Bila tidak
ada Allah, maka saya tidak bertanggungjawab kepada siapun dan saya dapat hidup
dan mati sesuka saya”. Tetapi pada suatu saat yang tenang suara hati berbisik
“Allah ada.” Dalam perkiraan Kant, argument ini jauh lebih tinggi di atas
argument-argumen yang lain. Argumen inilah satu-satunya yang diandalkan Kant
untuk upayanya membuktikan keberadaan Allah. Teologia modern juga mengunakan
argument ini secara luas, terutama dalam argument bahwa kesadaran manusia akan
Kebaikan yang Tertinggi dan upayanya mencari suatu ideal moral menuntut dan
mengharuskan keberadaan Allah yang memungkinkan hal itu menjadi kenyataan.
Walaupun argument ini benar menunjukkan pada keberadaan satu keberadaan yang
kudus dan benar, argument ini tidak menjadikan kepercayaan akan satu Allah,
Pencipta atau keberadaan yang kesempurnaan-kesempurnaanNya tidak terbatas suatu
keharusan.
Argumen/Bukti dari Kehidupan Kaidah kehidupan ini menyatakan bahwa hidup datang darihidup asali yang bersumber dari khalik yang memiliki hidup yang kekal; yakni hidup yang sudah ada sebelum hidup jasmani dijadikan. Di manakah hidup demikian dapat ditemukan? Satu-satunya hanyalah pada Allah, yakni Pemilik kehidupan yang kekal.[9]
A. PENYATAAN UMUM
(ALAMI/TIDAK LANGSUNG)[10]
Berbagai argument/bukti tersebut di atas merupakan “bukti-bukti
filosofis ” (philosophical proofs) mengenai Allah, yaitu hasil pemikiran atau
akal budi manusia membuktikan adanya Allah. Argumen itu hanya merupakan
sisa-sisa dari bukti-bukti adanya “penyataan yang tidak langsung”, yaitu
penyataan Allah dengan perantaraan Firman dan KaryaNya di dalam alam semesta,
di dalam sejarah dan juga di dalam hati sanubari manusia.• PENCIPTAAN
Tak seorangpun dapat
menyangkal bahwa alam semesta yang kompleks ini adalah suatu keajaiban yang
agung dan menakjubkan. Dalam kitab Ayub dikisahkan Ayub ketika dicobai Iblis.
Ayub bergumul, bagaimana Allah yang baik dapat mengizinkan ketidakadilan
seperti penyakit dan penderitaan? Ayub dikenal sebagai orang yang saleh, namun
kekayaan dan anak-anaknya diambil, dan ia sendiri dijangkiti bisul. Setelah
berusaha mencari jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tentang Allah dalam waktu
yang lama. Ayub akhirnya mendengar sendiri dari Allah. Dari dalam badai Allah
berbicara kepadanya bahwa untuk melihat Dia, Ayub harus dapat memandang
melampaui kesulitan-kesulitan yang menekan dan melihat alam semesta serta dunia
sekitarnya (Ayub 38). Beberapa bukti alam semesta akan menuntun kepada suatu
kesimpulan: keajaiban penciptaan bumi (ayat 4-6), keajaiban langit (ayat 7),
keajaiban keseimbangan laut-darat (ayat 8), keajaiban fajar yang baru (ayat
12), keajaiban dasar samudera raya (ayat 16), keajaiban siklus hidup-mati (ayat
17), keajaiban asalnya terang (ayat 19), keajaiban badai elektrik (ayat 24), keajaiban
angin (ayat 24), keajaiban siklus hidrologis (ayat 25-30), keajaiban hewan
memelihara anaknya (pasal 39:1- 3). Inti perkataan Allah kepada Ayub adalah
“dalam sengsaramu engkau bertanya di mana Aku ketika engkau menderita.
Lihatlah kembali
dunia di sekelilingmu dan engkau akan melihat Aku di sana dan diingatkan akan
kebijaksanaan dan kuasaKu. ” Dengan perantaraan karya penciptaan yang luar
biasa, Ayub merasakan keberadaan Allah. Tertegun, merasa rendah dan dipenuhi
rasa hormat saat merenungkan Allah dan karya-karyaNya, Ayub membuka mulutnya
dan berkata: “Hanya darikata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi
sekarang mataku sendiri memandang Engkau. Oleh sebab itu aku mencabut
perkiataanku dan dengan menyesal aku duduk dalam debu dan abu” (Ayub 42:5-6).
Ayat-ayat lain yang sangat jelas tentang hal ini misalnya: “Langit menceritakan
kemuliaan Allah” (Maz 19:1-4). Kis 14:17 juga menyatakan hujan dan musim-musim
subur adalah saksi mengenai kehadiran Allah. Lihat juga Kis. 17:22-31. Rom
1:18-23 menyatakan hal-hal yang tidak tampak dari Allah, yaitu kekuatan dan
keilahianNya, terlihat melalui hal-hal yang sudah diciptakan olehNya.
Alkitab menyatakan
bahwa Allah adalah sumber dari segala sesuatu. Ibrani 11:3 menegaskan hal ini
dengan mengatakan “karena iman kita mengerti, bahwa alam semesta telah
dijadikan ileh firman Allah, sehingga apa yang kita lihat telah terjadi dari
apa yang tidak dapat kita lihat.” Berdasarkan semua itu, A.H. Strong pernah
berkata: “Alam semesta adalah sumber teologi. Alkitab menegaskan bahwa Allah
telah menampakkan diriNya melalui alam semsta.”
• AKAL BUDI
Dalam Kis 17 dapat dilihat kecenderungan manusia untuk beribadah –
sesuatu yang menyaksikan tentang keberadaan Allah dan menunjukkan kecenderungan
manusia untuk menyalah artikan pengetahuan yang ia miliki. Ketika Paulus tiba
di Atena, ia melihat bahwa kota itu penuh dengan berhala. Ayat 22 menuliskan
“Paulus pergi berdiri di atas Areopagus dan berkata: ‘Hai orang-orang Atena,
aku lihat, bahwa dalam segala hal kamu sangat bribadah kepada dewa-dewa, sebab
ketika aku berjalan-jalan di kotamu dan melihat-lihat barang-barang pujaanmu,
aku menjumpai juga sebuah mezbah dengan tulisan: kepada Allah yang tidak
dikenal. Apa yang kamu sembah tanpa mengenalnya, itulah yang kuberitakan
kepadakamu” (ayat 22-23).
Kemudian Paulus
menggunakan kesempatan ini untuk memperkenalkan satu-satunya Allah yang sejati
kepada penyembahpenyembah berhala itu. Yang menarik untuk disimak adalah bahwa
orangorang Atena juga penyembah allah yang tidak dikenal. Mereka tidak perlu
diyakinkan tentang keberadaan Allah, mereka hanya perlu diarahkan kepada Allah
yang benar. Sebelumnya dalam Roma 2:14-15 Paulus mengajukan pertanyaan tentang
pengetahuan batin yang mendasar dalam hati semua orang. Ketika ia berbicara
tentang orang yang bukan Yahudi, ia menjelaskan bahwa Taurat Tuhan tidak
dinyatakan kepada orang-orang bukan Yahudi, namun hukum Taurat ada tertulis di
dalam hati mereka. Paulus mengimplikasikan bahwa semua orang, hingga taraf
tertentu, mengerti apa yang benar dan salah karena Allah telah memberikan
pengetahuan ini kepada mereka. Juga orang-orang yang tak pernah terdidik dalam
peraturan-peraturan PL, khususnya 10 Perintah Allah, memiliki pengetahuan batin
tentang ide-ide yang mendasar ini. Hal ini adalah pengetahuan yang diberikan
oleh Allah. Adanya kesadaran universal tentang perilaku yang baik inilah yang
menjadi bukti dari keberadaan Allah. Roma 1:18-32 memberikan bukti kuat bahwa
setiap orang memiliki pengetahuan batin tentang Allah. Paulus mengatakan bahwa
“apa yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka.” Namun walaupun
semua manusia memiliki kesaksian batin bahwa Allah ada,sebagian orang tidak mau
mengakuinya, mereka “menindas kebenaran”. Baik penyataan Allah melalui
penciptaan maupun akal budi ini disebut “umum” (general revelation), karena
diperuntukkan bagi manusia pada umumnya, tanpa terkecuali. Disebut juga
“penyataan alami ” (natural revelation). Usaha pembuktian dengan menggunakan
sisa-sisa penyataan umum atau alami ini menghasilkan Teologi Natural (Natural
theology) yaitu disiplin teologi yang menyangkut pengetahuan akan Allah yang
diperoleh melalui budi saja. Teologi ini menyatakan bahwa bisa saja orang
membuat pernyataan-pernyataan tentang eksistensi dan sifat Allah berdasarkan
nalar manusia semata, tanpa perlu penyataan Allah mengenai diri-Nya sebagaimana
disaksikan dalam Alkitab. Teologi ini dikembangkan oleh St. Thomas Aquino
(1225-1274) dan menghadapi tantangan sejak masa Pencerahan ketika keabsahan
argument mengenai adanya Allah diserang.
Konsili Vatikan I (1869-1870) mengajarkan bahwa “dari hal-hal yang diciptakan, Allah dapat diketahui dengan pasti melalui cahaya kodrati akal budi manusia.” Konsili menegaskan suatu kemungkinan (“dapat”), tetapi tidak menunjukkan jalan-jalan untuk mengetahui Allah dan tidak menyatakan bahwa ada orang yang telah mengalami kemungkinan ini tanpa “penyataan Allah yang khusus”. Karl Barth (1886-1968) dan tokoh-tokoh teologi dialektis yang lain bahkan, atas dasar pendapat bahwa dosa telah menyebabkan akal manusia dari dirinya sendiri tidak mampu mengenal Allah, dengan tegas mengesampingkan teologi natural. Manusia bisa cukup mengenal Allah sampai suatu tingkat tertentu melalui penyatan umum/alami, sehingga mereka “tidak dapat berdalih” (Roma 1:20 ketka mereka menolak Allah. Meskipun demikian, tanpa penyataan lebih lanjut dari Allah, yaitu “penyataan khusus” mereka tidak mungkin mengetahui kekudusan-Nya, kebencianNya pada dosa, kasih dan anugerahNya dan ketetapan-ketetapan-Nya untuk menyediakan keselamatan. Pengenalan yang benar tentang Allah hanya dapat diperoleh melalui penyataan khusus, di bawah pengaruh pencerahan Roh Kudus.[11]
B. PENYATAAN
KHUSUS: DASAR IMAN KRISTEN TENTANGKEBERADAAN ALLAH[12]
Iman Kristen bukan hasil pemikiran atau olah akal budi (refleksi)
manusia untuk membuktikan keberadaan Allah. Sebab iman Kristen mulai dengan
fakta positip bahwa Allah ada, karena mengalami adanya “penyataan Allah yang
khusus ” (special revelation), yaitu penyataan Allah dengan perantaraan Firman
dan Karya-Nya yang berpusat pada Yesus Kristus. Allah telah menyatakan Diri,
sehingga tidak perlu dibuktikan, melainkan justru langsung mengungkapkan siapa
dan bagaimana Allah yang telah menyatakan Diri itu. Alkitab dengan tegas
menyatakan bahwa mula-mula bukan Israel yang mencari Allah, melainkan
sebaliknya, Allahlah yang mencari Israel dan yang memperkenalkan dan menyatakan
diri-Nya kepada Israel. Allah bersabda: “Aku telah berkenan memberi petunjuk
kepada orang yang tidak menanyakan Aku; Aku telah berkenan ditemukan oleh orang
yang tidak mencari Aku. Aku telah berkata: ‘Ini Aku, ini Aku!’ kepada bangsa yang
tidak memanggil nama-Ku” (Yesaya 65:1). Dengan karya-karya-Nya yang besar di
dalam sejarah umat Israel, tuhan Allah telah menyatakan diri-Nya atau
memperkenalkan diri-Nya kepada umatNya. Israel mengenal Allah, hal itu bukan
karena Israel mengunakan akalnya untuk menjelajahi alam semesta, juga bukan
karena Israel mehyelami lubuk hatinya melainkan karena Allah memperkenalkan
diri-Nya atau menyatakan diriNya kepada Israel.
Nabi Amos, untuk
menunjukkan otoritas misinya, berkata: “Sungguh, Tuhan ALLAH tidak berbuat
sesuatu tanpa menyatakan keputusanNya kepada hamba-hamba-Nya, para nabi” (Amos
3:7). Itu sebabnay tidak ada seorangpun penulis Alkitab merasa harus
membuktikan bahwa Allah ada. Alkitab dengan tegas menyatakan bahwa hanya orang
bodoh yang menyangkal adanya Allah (Maz 14:1). Para pencari keberadaan Allah
harus dengan tulus dan seperti anak-anak dengan iman sederhana, mempercayai dan
meyakini Allah sepenuhnya berdasarkan penyataan Allah dalam Alkitab dan alam
semesta. “Tetapi tanpa iman tidak mungkin orang berkenan kepada Allah. Sebab
barangsiapa berpaling kepada Allah, ia harus percaya bahwa Allah ada” (Ibrani
11:6). Betapa sukarnya manusia mempercayai apa yang tidak dilihatnya sendiri.
Manusia memiliki kecenderungan cara berpikir seperti Thomas: “Sebelum aku
melihat
Sekali-kali
aku tidak akan percaya” ketika mendengar murid-murid lain yang berkata: “Kami
telah melihat Tuhan!” (Yohanes 20:25). Namun Yesus menunjukkan kepada Thomas
sikap yang lebih agung: “Karena engkau telah melihat Aku, maka engkau percaya.
Berbahagialah mereka yang tidak melihat, namun percaya.” (Yoh 20:29). Bukti
terkuat tentang keberadaan Allah di luar Alkitab adalah persekutuan dengan Dia
melalui doa setiap hari. Kita tahu dan percaya bahwa Allah ada sebab kita
berbicara dengan Dia, dan Dia mendengar dan menjawab doa kita.
Penyataan
allah umum khusus; apakah allah dapat dikenal?
Hosea berkata “Marilah kita mengenal dan berusaha sungguh-sungguh
mengenal TUHAN; Ia pasti muncul seperti fajar, Ia akan datang kepada kita
seperti hujan, seperti hujan pada akhir musim yang mengairi bumi” (Hosea 6:3).
Juga Ibrani 11:6 mengatakan bahwa “Allah memberi upah kepada orang yang
sungguh-sungguh mencari Dia”. Tetapi bagaimana kita dapat mengenal atau mencari
Allah? Bukankah Allah adalah pribadi yang tak terjangkau pengertian manusia?
Zofar bertanya: “Dapatkah engkau memahami hakekat Allah, menyelami batas-batas
kekuasaan Yang Mahakuasa?” (Ayub 11:7). Juga bagaimana kita dapat menjawab
pertanyaan Yesaya: “Jadi dengan siapa hendak kamu samakan Allah, dan apa yang
dapat kamu anggap serupa dengan Dia?” (Yesaya 40:18). Allah dalam
ke-Mahasempurnaan-Nya (kepenuhan-Nya) memang tidak mungkin dapat kita dikenal.
Allah melampaui ruang-waktu yang diamati indra manusia. Tidak mengherankan jika
astronot Rusi yang pertama kembali dari angkasa luar melaporkan bahwa ia tidak
menemukan Allah di sana. Dari hakikat Allah sebagaimana dinyatakan dalam
Alkitab,
Kita jangan
berharap dapat melihat-Nya secara langsung dengan menggunakan indra apa pun.
“Tidak ada seorang pun yang pernah melihat Allah” (Yohanes 1:18a). Lagi
firmanNya: “Engkau tidak tahan memandang Wajah-Ku, sebab tidak ada seorang yang
memandang Aku dapat hidup” (Keluaran 33:20,23). Juga dalam 1 Timotius 1:17
dikatakan “Allah yang … tak nampak …” Selanjutnya dikatakan: “Dialah satu-
satunya yang tidak takluk kepada maut, bersemayam dalam
terang yang tak terhampiri. Seorangpun tak pernah melihat Dia dan memang
manusia tidak dapat melihat Dia” (1 Tim 6:16). Jelaslah kalau manusia tidak
dapat melihat Allah secara sempurna (bnd Rom 11:33- 36). Allah dalam
totalitas-Nya memang masih merupakan misteri (bandingkan 1 Korintus 13:12).[13]
Jadi tidak mungkin manusia dapat memperoleh pengenalan yang lengkap menyeluruh
dan sempurna tentang Allah. Memiliki pengenalan sedemikian tantang Allah sama
artinya dengan memahami Allah sepenuhnya, dan hal ini sama sekali tidak
mungkin, sebab “finitum non posit capere infinitum” (yang fana tak mungkin
memahami yang kekal). Tetapi bukan berarti Allah tidak memperkenalkan diri-Nya
sama sekali. Allah dalam rencana penyelamatanNya telah “menyatakan diri-Nya”
kepada manusia. Terhadap pertanyaan: “Apakah Allah dapat dikenal?”, iman
Kristen menjawab dengan tegas: “Tentu!”. Karena Allah telah menyatrakan atau
memperkenalkan diri-Nya. Dalam Roma 1:19, rasul Paulus mengatakan: “Karena apa
yang dapat mereka ketahui tentang Allah nyata bagi mereka, sebab Allah telah
menyatakanNya kepada mereka.” Manusia dengan demikian (hanya) dapat mengenal
Allah sejauh yang dinyatakanNya atau diperkenalkan-Nya kepada manusia. Dalam
Keluaran 3:14, Allah memperkenalkan Diri-Nya sebagai “AKU ADALAH AKU” (Ehyeh
asyer Ehyeh) artinya kita hanya dapat mengenal Allah sejauh yang telah Ia
nyatakan atau perkenalkan. Di luar itu Allah masih merupakan misteri.
Penyataan
Allah (Wahyu)
Kata penyataan merupakan terjemahan dari kata kerja Latin revelare
(kata bendanya revelation, bahasa Inggrisnya adalah revelation). Dalam bahasa
Indonesia lebih sering diterjemahkan dengan kata “wahyu” (seperti halnya dengan
kitab terakhir dalam PB yang diterjemahkan nama “Wahyu”). Namun pemakaian kata
wahyu ini dapat menimbulkan salah pengertian. Sebab kata ini berasal dari kata
kerja Arab, yang terutama berarti: “mengilhami/membisikkan mengenai sesuatu”;
“perasaan yang meyakinkan hati dan mendorong untuk diikuti tanpa diketahui
darimana datangnya”. Kata ini dapat menimbulkan kerancuan dengan pengertian
“wahyu ” dalam agama Islam, yaitu “ilham yang lebih tinggi”. Menurut Kamus
Besar Bahasa Indonesia ada dua arti dari kata “ilham”: (1) “Petunjuk yang datang
dari Tuhan yang terbit di hati”; (2) “Sesuatu yang menggerakkan hati (untuk
mengarang syair dsb.)”. Syeh Muhamad Abduh mengeartikan wahyu sebagai
“pengetahuan yang didapat seseorang pada dirinya sendiri dengan keyakinan penuh
bahwa pengetahuan itu datang dari Allah.” Hampir semua agama menyatakan bahwa
Allah telah menyatakan atau memperkenalkan diriNya pada manusia melalui cara
“wahyu” tersebut.[14]
Agama agama
non-Kristen umumnya menyatakan bahwa cara Tuhan memperkenalkan diriNya kepada
mereka adalah dengan cara “bisikan illahi,” yaitu: “Tuhan memperkenalkan
diriNya dan kehendakNya dengan membisikkan kehendakNya di dalam hati sanubari
manusia; kepada imam/pendeta (dalam agama suku murba), nabi (dalam agama
Islam), guru/kyai (dalam kebatinan), rsi (dalam agama Hindu) dsb. Misalnya
dalam agama Hindu diyakini bahwa dewa tertinggi Siwa dan Wismu memperkenalkan
diriNya/kehendakNya dengan bisikan. Kemudian dibukukan dalam kitab “Weda” yang
disebut “Sruti” yang artinya “apa yang didengar”. Dalam Parisada Hindu Darma
diyakini bahwa Weda berasal dari Sang hyang Widhi Wasa yang didengar oleh para
Maharesi dalam keadaan samadhi. Menurut kitab “Purana” sebab yang menjadikan
para rsi menerima “bisikan ilahi” adalah karena kekacauan.
Dalam Kebatinan Pangestu diyakini bahwa R.
Soenarto Mertowedojo sedang solat dhaim kemudian terlena dan mendengar “bisikan
ilahi” yang kemudian ditulis dalam kitab Serat Sangka Jati. Demikian pula dalam
agama Islam, panggilan Muhammad dalam S. 53:1-10; S. 96: 1-5; S. 74:15. Berbeda
dengan pengertian wahyu (penyataan) dalam iman Kristen. Kata wahyu (penyataan)
dalam Alkitab berasal darikata ibrani gillah, kata Yunani-nya apokalypto. Di
samping itu dalam PB juga digunakan kata Yunani phaneroun. Kata
gillah/apokalypto berarti “mengambil tutup/selubung sehingga nampak apa yang
tertutup/diselubungi” (menyingkapkan, menanggalkan, membuka selubung,
menunjukkan yang tersembunyi, memberitakan tentang yang tidak dikenal).
Phaneroun berarti “terbuka” (munculnya apa yang tersembunyi).
Hubungan pengertian
kedua kata tersebut adalah sbb.: Karena adanya tindakan apokalyptein maka
hasilnya adalah phaneroun. Berdasarkan etimologi tersebut penyatan (wahyu)
berarti :sesuatu yang semula tertutup atau tidak diketahui, karena diselubungi
menjadi dapat diketahui, karena selubungnya telah disingkapkan”. Penyataan
dapat berarti perbuatan mengungkapkan atau membuka atau menyingkapkan. Tetapi
istilah itu dapat pula berarti apa yang diungkapkan atau dibukakan atau
disingkapkan. Seringkali yang ditekankan ialah pengertian yang aktif: penyataan
terdapat dalam komunikasi Allah dengan manusia: penglihatan yang diberikanNya,
firman yang diucapkanNya dan perbuatan yang dilakukanNya. Allah sendiri membuka
selubung-Nya. Allah keluar dari tempat “persembunyianNya”, memperkenalkan Diri
kepada umat manusia. Ia menyingkapkan selubung yang menutupi Diri-Nya. Allah
menyatakan diri-Nya yang membuat Ia dikenal oleh manusia. Allah yang
“tersembunyi” yang mendiami “terang yang tidak terhampiri” (1 Tim 6:16), muncul
dari “ketersembunyian-Nya” yang kekal. Ia datang kepada manusia dengan
menyatakan diri-Nya sebagai Allah yang hidup, yang berfirman, yang bertindak.
Allah tampil dalam sejarah. Penyataan Allah
yang khusus tersebut diberikan dalam bentuk atau cara yang “manusiawi” atau
anthropomorphism (antropomorfisme) (Yunani: anthropos – manusia; dan morphe –
bentuk), artinya berbicara tentang Tuhan seolah-olah Ia adalah manusia. Bahasa
antropomorfis (anthropomorphic) adalah semacam cara berbicara yang dipakai
Allah untuk membuat orang-orang mengerti Allah dengan lebih baik. Allah yang
tidak dapat dikenal oleh manusia karena Ia sama sekali berbeda dengan manusia,
tetapi Ia berkenan untuk menciptakan manusia menurut gambar dan rupaNya.
Gambar dan rupa yang diciptakan-Nya inilah
yang dipakai Allah untuk menyatakan diriNya kepada manusia. Allah dikatakan
mempunyai mata (Maz 11:4), telinga (Maz. 86:1), mulut (Ayub 11:5; Yes 58:14);
tangan (Yos 4:24; Maz 31:6) dsb. Ia bersorak-sorak (Yes 65:19), berjalan (Kej
3:8), bergirang (Yes 65:19), jemu (Maz 95:10), menyesal (Kej 6:6) dsb. Dengan
cara demikian manusia dapat menangkap penyataan Allah. Allah menyatakan
Diri-Nya, “membuka” Diri, berkomunikasi dengan cara yang dapat diamati;
menggunakan cara yang dapat didengar, dapat dilihat dan menggunakan alat-alat
indra lainnya dalam berkomunikasi, sehingga manusia “mendengar suaraNya”,
“melihat” sejumlah penampakan diriNya atau “merasakan” gempa bumi pada saat
keheadiranNya. Cari ini disebut propositional revelation, artinya Allah
berkomunikasi dengan cara yang biasa dipakai manusia, yakni dengan membuat
penyataan yang dapat dimengerti oleh manusia.[15]
Penyataan Allah
yang khusus tidak sekedar “bisikan illahi” dan diterima secara “subyektif” atau
selalu hanya diterima secara perorangan. Di dalam Alkitab dapat dilihat
berbagai bentuk penyataan Allah, seperti: • Penampakan-penampakan Allah
(theofani), misalnya penampakan dengan tanda-tanda semak-duri, tiang awan,
tiang api, awan yang padat, suara guntur, malaikat Tuhan dsb. (Kel 3:2; 13:21;
14:19; 19:16-20 dsb.). • Perbuatan-perbuatan/karya/mijizat Allah, misalnya
tulah-tulah di Mesir, hujan manna, laut Tiberau yang terbelah menjadi dua, air
yang keluar dari batu karang dsb. (Kel 7:14 dst.; 14:31 dsb.); • Suara Tuhan,
misalnya Yes 6:8 dsb; • Tulisan Tuhan, misalnya dalam loh batu (Kel 32:15-19),
di dinding (Daniel 5:1-17) dsb.; • Impian, seperti dalam Kej 28:12-15 dsb.; •
Penglihatan, seperti dalam II Raj 6:8-17; dsb. Yesus Kristus adalah puncak
penyataan/pewahyuan Diri Allah (Yoh 1:14, 18). Dengan kata lain Penyataan Allah
yang paling sempurna diberikan dalam Yesus Kristus. Ia sekaligus adalah Pewahyu
(pelaku), pewahyuan (proses aktif penyingkapan), dan isi wahyu itu sendiri.
Injil Yohanes adalah tulisan PB yang paling kaya memuat ajaran mengenai wahyu
(melalui kata-kata seperti kemuliaan, cahaya, tanda, kebenaran, saksi, sabda
“Akulah Dia”, dan terutama penjelmaan Sang Sabda). Alkitab menyatakan bahwa
penggenapan semua penyataan terdahulu terjadi dalam Diri, karya dan perkataan
Yesus Kristus (Ibrani 1:1-3).[16]
Dengan Kristus dan zaman rasuli,
penyataan/pewahyuan dasar sudah sempurna dan kita hanya menunggu
penyataan/pewahyuan terakhir dan mulia, parusia (Titus 2:13; 1 Yoh 3:2). Tentu
penyataan Allah tentang diriNya tersebut tidak adekwat (adequate) atau tepat
persis, hanya yang dapat ditangkap manusia. Manusia diciptakan “menurut gambar
dan rupa” Allah, dan gambar dan eupa ini dipakai untuk menyatakan Diri dan
Kehendak Allah kepada manusia. Jadi penyataan Allah tidak adekwat, artinya
terbatas pada “gambar dan rupa”. TEtapi tidak berarti bahwa penyatan ini sama
sekali berbeda dari Yang dinyatakanNya. Sebuah gambar –kalau baik- benar-benar
menunjuk kepada apa yang digambarkan, meskipun memang terbatas. Penyataan Allah
ini oleh rasul Paulus dalam 1 Kor 13:12 dikatakan dengan istilah “samara-
samar”: “Karena sekarang kita melihat dalam cermin suatu gambaran yang
samara-samar, tetapi nanti kita akan melihat muka dengan muka. Sekarang aku
hanya mengenal dengan tidak sempurna tetapi nanti aku akan mengenal dengan
sempurna, seperti aku sendiri dikenal.” Memang gambar dan peta Allah ini rusak
karena dosa tapi tidak hilang. Penyataan Allah tidak dapat ditangkap manusia
kalau Roh Kudus tidak bekerja dahulu dalam hati orang. Luther berulang kali
mengatakan tentang Allah sebagai Deus Absconditus (Allah yang tersembunyi),
yang dibedakan dari Allah sebagai Deus Revelatus (Allah yang dinyatakan). Dalam
beberapa tulisannya, Luther bahkan mengatakan bahwa Allah yang dinyatakan (penyataan
Allah) masih juga Allah yang tersembunyi ditinjau dari kenyataan bahwa kita
tidak dapat sepenuhnya mengenal Dia bahkan melalui penyataan khusus-Nya
sekalipun. Dalam penyataan khusus ini, Allah menyatakan Diri-Nya dalam rangka
mau menyelamatkan dan memperbaharui manusia dan ciptaan lainnya yang sesuai
dengan maksud dan rencana Allah. Penyataan itu tidak terjadi dalam satu waktu
tertentu saja dan diterima oleh seorang atau beberapa orang saja, tetapi
meliputi sejarah yang panjang, berabad-abad dan melibatkan banyak saksi primer
yang dipilih dan dikuduskan oleh Allah dan diberi kuasa untuk memberikan
kesaksian tentang apa yang telah mereka lihat, dengar, atau alami, sampai
beberapa generasi. Meskipun meliputi waktu yang panjang dan melibatkan begitu
banyak manusia dalam memberikan kesaksian penyataan Allah secara tertulis dalam
bentuk kita- kitab, namun kumpulan dari kitab-kitab tersebut merupakan satu
buku (Alkitab) yang memiliki satu “benang merah” dan satu kesaksian serta satu
maksud atau tujuannya.
III.
Kesimpulan
Inilah bukti yang terkuat bahwa penyataan
Allah dalam iman Kristen dan kesaksianNya (Alkitab) bukan karangan manusia
tetapi karya Allah sendiri yang memimpin/mendorong/mengilhami alatNya, yaitu
manusia untuk terlibat dalam sejarah penyelamatan danb pembaharuan dari Allah.
Alkitab secara utuh menyampaikan penyataan Allah yang mencapai kepenuhannya
dalam Kristus. Penuturan kembali karya-karya Allah yang ajaib dalam Alkitab itu
karena peristiwa penyataan dalam kurun waktu sejarah tertentu tidak dimaksudkan
hanya untuk mereka yang menerima penyataan itu pada kurun waktu itu, tetapi
untuk manusia sepanjang waktu. Itu sebabnya Allah berulang kali mengingatkan
umat-Nya akan hal-hal yang telah dilakukanNya untuk mereka. Tanpa penyataan
Allah melalui tulisan (Alkitab), sedikit sekali atau bahkan tidak ada orang
yang mengerti penyataanNya melalui karyaNya. Penyatan Allah, baik melalui karya
maupun tulisan, memiliki tujuan tertentu, yaitu agar ada dampaknya bagi mereka
yang menerimanya. Mereka harus memperhatikannya, mempelajarinya dan
menanggapinya. [17]
Tujuan Allah yang
bersesinambungan menurut Alkitab adalah penyelamatan, yaitu untuk menghapuskan
akibat kejatuhan manusia ke dalam dosa dan memulihkan akibat kejatuhan manusia
ke dalam dosa dan memulihkan manusia pada keadaannya semula. Setiap penyataan
Allah bersifat menyelamatkan, karena tindakan-tindakanNya
yang “negatif” sekalipun (artinya yang bersifat mengadili atau menghukum)
bertujuan mewujudkan kehendakNya yang penuh kemurahan. Proses bagaimana manusia
dapat mengenal (penyataan) Allah dapat digambarkan dalam skema sbb.: ALLAH – Penyataan
Allah Mencapai kepenuhannya dalam Yesus Kristus – YesusKristus
adalah Firman – Penyataan Allahyang menjadi manusia,
merangkum segala perbuatan Allah sebelum dan sesudahnya – Saksi
Primer (Saksi mata/telinga dari Penyataan Allah, yang dipilih dan dikuduskan
oleh Allah berdasarkan anugerahNya, diberi kuasa untuk menyaksikan apa yang
telah mereka lihat, dengar dan alami).
DAFTAR PUSTAKA
Becker, Dieter.PedomanDogmatika.BPK
GunungMulia. Jakarta. 1991.
Berkhof,Louis.A
Summary of Christian Doctrine,
1992.
Boland, B.A.Intisari Iman Kristen.
Jakarta.BPK
GunungMulia. 1984.
Hadiwijono, Harun. Iman
Kristen.Jakarta.BPK GunungMulia. 2010.
Lukas Lukito, Daniel. Pengantar
Teologia Sistematika I.BPK
GunungMulia. Jakarta.
Lohse, Bernhard. Pengantar
Sejarah Dogma Kristen.Jakarta. BPK GunungMulia. 1989.
Milne,Bruce.MengenaliKebenaran.
BPK GunungMulia. Jakarta. 2004.
Ryrie, Charles C.Teologi Dasar. BPK GunungMulia. Jakarta. 2003.
Santoso, Miriam. Bibliologi. BPK GunungMulia. Jakarta. 2001
Scheunemann,V.Dogma Kristen. BPK GunungMulia. Jakarta.
Soedarmo,R..IkhtisarDogmatika.BPK GunungMulia.
Jakarta. 2010.
Sproul,R.C.Kebenaran-kebenaran Dasar Iman Kristen. Jakarta.BPK GunungMulia.
Urban, Linwood. Sejarah
Ringkas Pemikiran Kristen.Jakarta.BPK Gunung Mulia. 2012.
Van Niftrik, G.C. & B.J. Boland.DogmatikaMasaKini.BPK GunungMulia.Jakarta.
2008.
Dan CatatanperkuliahanolehPdt.
R. Turnip, M.Th. 28 Pebruari 2018. Aula STT HKBP.
[1]R. soedarmo, IkhtisarDogmatika, BPK GM, Jakarta, 2010, 15 -16.
[2]G.C. van Niftrik& B.J. Boland, DogmatikaMasaKini, BPK GM, Jakarta,
2008, 59 – 60.
[3]G.C. van Niftrik& B.J. Boland, Dogmatika,… 60.
[4]Bruce Milne, MengenaliKebenaran, BPK GM, Jakarta, 2004, 35 – 54.
[5]Linwood
Urban, Sejarah Ringkas Pemikiran Kristen,Jakarta, BPK Gunung Mulia, 2012, 64-65
[6]Bernhard
Lohse, Pengantar Sejarah Dogma Kristen,Jakarta, BPK GM, 1989, 53-54.
[7]V.
Scheunemann, M. Th., Dogma Kristen, BPK GM, Jakarta, 18-26
[8]R. soedarmo, Ikhtisar,…. 28.
[9]Charles
C. Ryrie, Teologi Dasar, BPK GM, Jakarta, 83-87.
[10]R.C.
Sproul, Kebenaran-kebenaran Dasar Iman
Kristen, Jakarta, BPK GM, 3-19
[11]B.A.
Boland. Intisari Iman Kristen,
Jakarta, BPK GM, 1984,
25.
[12]Dieter, Becker.PedomanDogmatika, BPK GM, Jakarta, 1991, 30 – 41.
[13]HarunHadiwijono,
Iman Kristen,Jakarta, BPK GM, 2010, 171
[14]Daniel
Lukas Lukito, Pengantar Teologia
Sistematika I, BPK GM,
Jakarta, 53-76
[15]Miriam
Santoso, Bibliologi, BPK GM, Jakarta, 1-3.
[16]Louis
Berkhof, A Summary of Christian Doctrine, 11-15
[17]R. soedarmo, Ikhtisar,…. 39.
Post a Comment for "Dogmatika Tentang Penyataan Allah (Revalation)"